Monday, December 4, 2006

PENDIDIKAN ISLAM DAN ERA GLOBAL-MULTIKULTURAL

A. Konsepsi Pendidikan Islam : Pencarian Paradigma Baru Yang Tak Kunjung Usai

1. Konsepsi Pendidikan : Pengantar Pengertian Dasar

Pendidikan, adalah merupakan bagian dari proses kehidupan manusia, sebab tidak ada seorang pun yang hidup di dunia ini --kapan pun dan di mana pun dia berada-- dapat lepas dari pengaruh pendidikan. Perlunya pendidikan bagi kehidupan manusia didasarkan pada kebutuhan akan adanya bimbingan dan pembinaan terhadap perkembangan baik jasamani maupun rohani setiap manusia guna mencapai suatu kehidupan yang baik dan berkualitas sesuai dengan arah dan tujuan yang dicita-citakan.

Untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam diri setiap manusia agar tercapai suatu kehidupan yang lebih baik dan berkualitas sesuai dengan apa yang dicita-citakan dan didambakan dalam kehidupannya kelak ialah melalui bimbingan, arahan, dan pelatihan. Hal inilah yang dinamakan dengan pendidikan. Adapun mengenai konsepsi tentang pendidikan secara lebih jelasnya adalah sebagai berikut:

Kata pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapatkan awalan pen dan mendapat akhiran kan sehingga menjadi “pendidikan” yang artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan (pikiran). Kemudian pengertian “pendidikan” secara lebih lengkapnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik, mengasuh) artinya memberi peningkatan (to elicik, to give rise to), dan mengembangkan (to evolvo, to develop). Dalam pengertian yang sempit education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan.

Dalam bahasa Arab, pendidikan disebut “tarbiyah” yang berarti proses persiapan dan pengasuhan manusia pada fase-fase awal kehidupannya yakni pada tahap perkembangan masa bayi dan kanak-kanak. Dalam Kamus Al-‘Ashri disebutkan bahwa kata rabba, tarabbaba, dan tarabbabal walada memiliki arti yang sama yakni memelihara atau mengasuh anak.

Dari beberapa istilah kata tentang “pendidikan” yang telah dipaparkan di atas, maka dari para praktisi pendidikan banyak yang mengemukakan pendapatnya tentang pendidikan, yang mana dalam mendefinikan kata tersebut mereka banyak dipengaruhi oleh pandangan dunia (weltanschauung) masing-masing, di antara mereka adalah:

Ki Hajar Dewantara dalam promosi doktor honoris causanya yang dikutip Azyumardi Azra mengatakan bahwa pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak agar selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Menurut Samsul Nizar bahwa pendidikan itu secara umum ialah suatu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang (peserta didik) dalam upaya mendewasakan manusia (peserta didik) melalui upaya pengajaran, dan latihan, serta proses perbuatan, dan cara-cara mendidik.

Muhibbin Syah dengan merangkum pendapatnya Poerbakawatja dan Harahap Winkel serta pendapatnya Poerwanto mengartikan pendidikan sebagai suatu usaha yang disengaja dalam bentuk perbuatan, bantuan, dan pimpinan orang dewasa kepada anak-anak agar mencapai kedewasaan.

Senada dengan yang dikatakan Muhibbin Syah, Alisuf Sabri juga mengatakan bahwa pendidikan itu adalah usaha sadar dari orang dewasa untuk membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak (peserta didik) secara teratur dan sistematis ke arah kedewasaan.

Definisi pendidikan yang dikemukakan oleh para praktisi tersebut ternyata sejalan dengan definisi pendidikan dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 yang mengatakan : pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 yang menyatakan : pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk nememiliki kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya.

Dari beberapa pengertian tentang pendidikan, baik itu dari istilah kebahasaan maupun dari pendapat para praktisi pendidikan dan Undang-undang RI tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pendidikan itu merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan kehidupan secara lebih efektif dan efisien. Akan tetapi semua terminologi tersebut masih kelihatan sangat umum sekali, terkesan dari beberapa pengertian tersebut belum terlihatnya penekanan pada nilai-nilai religius sebagai nilai yang tak terlepaskan pada diri manusia, dan sebagai nilai kontrol. Untuk itulah para ilmuan muslim, mencoba untuk mendefinisikan terminologi pendidikan dalam perspektif Islam, yang secara khusus ada beberapa versi dan aspek.

Dari aspek kebahasaan, dalam istilah bahasa Arab kata yang umum dipakai untuk “pendidikan” (Islam) adalah tarbiyah, hal ini bisa kita lihat dari para penulis kontemporer dari kalangan muslim Arab, umumnya mereka menggunakan istilah tarbiyah untuk menyebut pendidikan. Tidak sedikit buku yang dikarang mereka untuk menjelaskan teori-teori pendidikan Islam dengan menggunakan judul al-Tarbiyah al-Islamiyah. Bahkan nama kementrian di negara Arab yang mengurusi bidang pendidikan pun juga disebut Wizarat al-Tarbiyah (Departemen Pendidikan). Bukan hanya di negara Arab, di Indonesia juga salah satu fakultas di UIN, IAIN, PTAIN, PTAIS, dan yang lainnya yang menyiapkan tenaga-tenaga pendidikan atau guru-guru agama Islam juga dinamakan Fakultas Tarbiyah. Kenyataan ini menunjukan pengaruh yang luas dari penggunaan istilah tarbiyah tersebut untuk kegiatan pendidikan.

2. Konsepsi Pendidikan Islam

Pengertian pendidikan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas masih nampak sangat umum sekali, belum terlihatnya penekanan pada nilai-nilai religius sebagai nilai-nilai dasar yang tak terlepaskan pada diri setiap manusia, oleh sebab itu para ilmuan muslim mencoba merumuskan dan menawarkan teorinya tentang pendidikan dalam perspektif Islam. Di antara mereka yang mencoba menawarkan teorinya tentang pendidikan dalam perspektif Islam adalah:

Hasan Langgulung sebagaimana dikutip Azyumardi Azra mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.

M. Arifin mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses sistem pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah (anak didik) dengan berpedoman pada ajaran Islam. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pendidikan Islam itu merupakan usaha dari orang dewasa (muslim) yang bertaqwa, yang secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (potensi dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.

Selanjutnya, Abu Ahmadi merumuskan pengertian pendidikan Islam sebagai sebuah usaha-usaha terencana yang dilakukan secara sistematis dalam membantu anak didik agar mereka (anak didik) dapat hidup layak, bahagia dan sejahtera sesuai dengan ajaran Islam.

M. Kamal Hasan sebagaimana dikutip Taufiq Abdullah dan dikutip lagi oleh Samsul Nizar mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses yang komprehensif dari pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi intelektual, spiritual, emosi, dan fisik. Sehingga seorang muslim disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan kehidupannya di sisi Tuhan sebagai hamba dan wali-Nya di muka bumi.

Kemudian Endang Saipuddin Anshari secara lebih teknis lagi mengartikan pendidikan Islam sebagaimana yang dikutip Azyumardi Azra sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, dan arahan) oleh pendidik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi dan sebagainya) dan raga anak didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi yang sesuai dengan ajaran Islam.

Dari pengertian yang dibangun oleh para ilmuan muslim dalam mendefinisikan pendidikan Islam, maka penulis menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah rangkaian proses yang sistematis, terencana dan komprehensif dalam upaya mentransfer nilai-nilai kepada anak didik, mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik, sehingga mereka mampu melaksanakan tugasnya di muka bumi dengan sebaik-baiknya sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang didasarkan pada ajaran agama (al-Qur’an dan al-Hadits) pada semua dimensi kehidupannya.

Di sini pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah Swt. Kepada Muhammad Saw. melalui proses di mana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi --yang dalam kerangka lebih lanjut-- dapat mewujudkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dengan definisi tersebut, maka akan berimplikasi pada pendidikan itu sendiri, di antaranya : Pertama, pendidikan dilakukan oleh pendidik yang benar-benar kompeten di bidangnya, tanpa terkelupasnya nilai-nilai agama pada dirinya. Kedua, pendidikan dilakukan dengan berdasarkan normatif Ilahiyah.

Ketiga, pendidikan dilakukan sesuai dengan potensi anak didik. Keempat, pendidikan tidak hanya sekedar berorientasi pada kehidupan kekinian, akan tetapi juga berorientasi pada kehidupan yang akan datang juga (termasuk di dalamnya kehidupan ukhrawi kelak). Kelima, pendidikan harus bertanggung jawab penuh pada perkembangan anak didik, baik kepada masyarakat, maupun kepada Allah.

Keenam, pendidikan harus merencanakan dan melaksanakan kegiatan pendidikan sesuai dengan sunnatullah, dan Ketujuh, proses pendidikan harus melibatkan semua saluran, baik saluran formal, informal, maupun non formal dalam upaya mengembangkan pribadi anak didik, sehingga mampu menangkal nilai-nilai amoral.

Dari beberapa implikasi tersebut, insya Allah akan terciptalah suatu interaksi yang komunikatif antara pendidik dan anak didik serta masyarakat secara integral dalam upaya menyiapkan generasi yang berkualitas, beriman, dan bertaqwa kepada Khaliqnya.

Batasan di atas, memberikan gambaran bahwa eksistensi pendidikan merupakan sarana vital dalam upaya menumbuhkan daya kreativitas anak didik, melestarikan nilai-nilai Ilahiyah dan insaniyah serta membekali anak didik dengan kemampuan yang produktif. Dengan demikian, mengingat berat dan besarnya peranan pendidikan dalam kehidupan manusia, maka perlu diformulasikan sedemikian rupa, baik yang menyangkut sarana insani maupun non insani secara kompetitif dan integral.

3. Dasar-dasar Pendidikan Islam : Sebuah Landasan Dasar

Dari batasan terminologi pendidikan yang disebutkan di atas, memberikan gambaran bahwa pendidikan merupakan salah satu syarat utama dalam upaya meneruskan dan mengekalkan nilai-nilai kebudayaan dari sebuah masyarakat. Dengan demikian, pendidikan merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan bagi masyarakat.

Agar pendidikan dapat melaksanakan fungsinya sebagai agent of culture dan bermanfaat bagi manusia itu sendiri, maka diperlukan acuan pokok yang mendasarinya. Karena pendidikan merupakan bagian yang terpenting dari kehidupan manusia, yang secara kodrati adalah insan pedagogik, maka acuan yang menjadi dasar bagi pendidikan adalah nilai yang tertinggi dari pandangan hidup suatu masyarakat di mana pendidikan itu dilaksanakan. Untuk itu, karena yang akan dibicarakan di sini adalah pendidikan Islam, maka yang menjadi pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan ini adalah pandangan hidup yang Islami, yaitu terhadap nilai yang transenden, universal, dan eternal (langgeng, abadi atau kekal).

Dalam menetapkan sumber pendidikan Islam para ahli seluruhnya sepakat bahwa yang menjadi sumber dalam pendidikan Islam adalah al-Qur’an, hadits, dan ijtihad yang dilakukan oleh para ilmuan untuk menjawab fenomena yang muncul kemudian yang tidak tertera jawabannya secara terperinci dalam al-Qur’an dan hadits.

Lebih lanjut Azyumardi Azra mengatakan bahwa dasar-dasar pendidikan Islam secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya. Dasar-dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama adalah al-Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an misalnya memberikan prinsip yang sangat penting bagi pendidikan, yaitu penghormatan kepada akal manusia, bimbingan Ilahiyah, tidak menentang fitrah manusia, serta memelihara kebutuhan sosial.

Dasar pendidikan Islam selanjutnya adalah nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunnah atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia. Dengan dasar ini, maka pendidikan Islam dapat diletakkan di dalam kerangka sosiologis, selain menjadi sarana transmisi pewarisan kekayaan sosial budaya yang positif bagi kehidupan manusia.

Kemudian, warisan pemikiran Islam juga merupakan dasar penting dalam pendidikan Islam. Dalam hal ini hasil pemikiran para ulama, filosof, cendikiawan muslim, khususnya dalam pendidikan menjadi rujukan penting pengembangan pendidikan Islam. Terlepas dari hasil refleksi itu apakah berupa idealisasi atau kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam, yang jelas warisan pemikiran Islam ini mencerminkan dinamika Islam dalam menghadapi tantangan-tangatangn kehidupan yang terus berubah dan berkembang. Karena itu, terlepas pula dari keragaman warisan pemikiran Islam tersebut, ia dapat mengembangkan pendidikan Islam.

Lebih lanjut Azyumardi menjelaskan bahwa dari dasar-dasar pendidikan Islam itulah kemudian dikembangkan suatu sistem pendidikan Islam yang mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan sistem-sistem pendidikan lainnya. Secara singkat karakteristik pendidikan Islam itu adalah sebagai berikut:

Karakteristik pertama pendidikan Islam adalah penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah Swt. Setiap penganut agama Islam diwajibkan mencari ilmu pengetahuan untuk dipahami secara mendalam yang dalam tarap selanjutnya dikembangkan dalam kerangka ibadah guna kemaslahatan umat manusia. Pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan ini merupakan suatu proses yang berkesinambungan, dan pada prinsipnya berlangsung seumur hidup. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah life long education dalam sistem pendidikan modern.

Sebagai sebuah ibadah, maka dalam pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Di dalam konteks ini maka kejujuran, sikap tawadhu, menghormati sumber pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip penting yang perlu dipegangi setiap pencari ilmu.

Karakteristik berikutnya adalah pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian. Setiap pencari ilmu dipandang sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni, agar potensi-potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya.

Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia merupakan karakteristik pendidikan Islam selanjutnya. Di sini suatu pengetahuan bukan hanya untuk diketahui, dan dikembangkan, melainkan sekaligus dipraktekan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian terdapat konsistensi antara apa-apa yang diketahui dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Islam mengetahui suatu ilmu pengetahuan sama pentingnya dengan pengamalannya secara nyata.

4. Tujuan Pendidikan Islam : Suatu Cita-cita Pembentukan Manusia Sempurna

Persoalan pendidikan adalah persoalan yang menyangkut hidup dan kehidupan manusia yang senantiasa terus berproses dan berkembang dalam kehidupannya. Di antara persoalan pendidikan yang cukup penting dan mendasar adalah mengenai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan termasuk masalah sentral dalam pendidikan, sebab tanpa perumusan tujuan pendidikan yang baik maka perbuatan mendidik menjadi tidak jelas, tanpa arah dan bahkan tersesat atau salah langkah. Oleh karenanya masalah tujuan pendidikan menjadi inti dan sangat penting dalam menentukan isi dan arah pendidikan yang diberikan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa suatu usaha tanpa tujuan tidak akan berarti apa-apa. Oleh karenanya setiap usaha mesti ada tujuannya, begitu pula dalam pendidikan Islam.

Memang berbicara mengenai tujuan pendidikan Islam tidak akan pernah lepas dari pembicaraan tentang tujuan hidup manusia, maka dalam tujuannya pun ilmu akan selalu mempertimbangkan perubahan dan perkembangan yang dialami manusia. Untuk itu dalam sebuah ilmu atau disiplin ilmu dibutuhkan suatu rumusan tujuan yang fleksibel yang dapat terus menerus disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Untuk itulah dalam pendidikan Islam pun harus diambil dari konsep atau falsafah hidup manusia dengan berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma Islam. Karena mengingat bahwa pandangan hidup muslim adalah Islam, maka tujuan pendidikan pun haruslah dengan ajaran Islam.

Mengenai bagaimana rumusan tujuan pendidikan Islam para praktisi pendidikan khususnya praktisi pendidikan Islam banyak yang mencoba untuk merumuskan tentang tujuan pendidikan Islam itu sendiri, di antaranya ; Athiyah Al- Abrasyi yang dikutip Khairon Rosyadi telah merumuskan tujuan pendidikan Islam secara umum dalam lima tujuan yaitu :

a. Untuk membentuk akhlak mulia, kaum muslimin sepakat bahwa pendidikan akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya;

b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitik-beratkan pada keagamaan atau keduniaan saja, melainkan pada keduanya dan memandang kesiapan keduanya sebagai tujuan asasi.

c. Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidak hanya pada segi agama, akhlak dan sepiritual semata tetapi juga menyeluruh bagi kesempurnaan kehidupan, atau yang lebih dikenal sekarang dengan nama tujuan-tujuan vokasional dan profesional.

d. Menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajaran dan memuaskan keinginan dalam arti untuk mengetahui (co-riosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar ilmu.

e. Menyiapkan pelajaran dari segi profesional, teknis dalam perusahaan supaya dapat menguasai profesi tertentu dan keterampilan pekerjaan tertentu agar dapat mencari rizki dalam hidup, di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.

Menurut Abuddin Nata bahwa tujuan pendidikan Islam itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.

2. Mengarahkan manusia agar seluruh tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.

3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehinggga ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.

4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang kesemuanya itu dapat dipergunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.

5. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Sementara itu Jusuf Amir Faisal mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam dapat dirumuskan menjadi tujuan-tujuan sebagai berikut :

1. Membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdah

2. Membentuk manusia muslim yang disamping dapat melaksanakan ibadah mahdah, dapat juga melaksanakan ibadah muamalah dalam kedudukannya sebagai orang perorang atau sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan tertentu.

3. Membentuk warga negara yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan bangsanya dalam rangka bertanggung jawab kepada Allah sebagai penciptanya.

4. Membentuk dan menggabungkan tenaga profesional yang siap dan terampil atau tenaga setengah terampil untuk memungkinkan memasuki tekno-struktur masyarakat.

5. Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu agama dan ilmu-ilmu Islami lainnya.

Kemudian Zakiyah Daradjat menjelaskaan bahwa melalui pendidikan Islam diharapkan terwujud kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi “insan kamil” dengan pola taqwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah Swt. Dalam rangka mencapai tujuan itulah dikemukakan tujuan pendidikan Islam yang meliputi tujuan umum yang merupakan tujuan yang ingin dicapai dari semua kegiatan pendidikan, tujuan akhir yang merupakan tujuan yang ingin dicapai sampai berakhirnya kehidupan seseorang (Q.S. 3:102); tujuan sementara yang merupakan tujuan yang ingin dicapai sampai batas atau pengalaman tertentu, dan tujuan operasional yang merupakan tujuan yang ingin dicapai secara praktis dalam sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.

Dari beberapa tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh beberapa praktisi nampaknya secara umum mereka memiliki tujuan yang sama, Abuddin Nata misalanya, ia memberikan gambaran bahwa arah pendidikan Islam adalah dalam rangka menjadikan manusia sebagai khalifah yang mampu mejelankan tugas kehidupan di muka bumi, mampu beribadah sebagai hamba Allah, mampu berakhlak mulia, dan mampu mengembangkan segenap potensinya serta mampu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kemudian kalau Jusuf Amir Anwar menjelaskan bahwa pendidikan Islam itu bertujuan menjadikan manusia muslim yang mampu menjalankan ibadah mahdah dan muamalah, menjadi warga negara yang baik, mengembangkan tenaga profesional serta menjadikan seorang ahli dalam bidang ilmu tertentu. Dalam hal ini nampaknya ia menggambarkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menjadikan manusia yang beriman, manusia yang shaleh, berkualitas dalam kehidupan sosial dan pribadi.

Dengan melihat tujuan yang telah dirumuskan oleh mereka nampaknya semakin jelas bahwa tujuan pendidikan Islam bukan saja diarahkan menjadi manusia dalam bentuk mengamalkan ajaran beragama dan berakhlak mulia, melainkan juga mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya terutama aspek fisik, psikis, intelektual, kepribadian, dan sosial sesuai dengan tuntutan kehidupan, kemajuan ilmu dan budaya, perkembangan masyarakat serta harapan ajaran Islam itu sendiri, terutama dalam menjadikannya mampu menunaikan tugas sebagai khalifah dan insan yang mengabdi kepada Allah Swt.

Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam yang utama itu adalah mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, sehingga mampu menunaikan tugas dan kewajibannya selaku makhluk Allah, kemudian mampu menjalankan dan membangun tugas-tugas kemasyarakatan, kebangsaan, keagamaan secara bersama-sama membangun peradaban Islam, dan tugas-tugas dalam membangun kehidupan bersama secara keseluruhan dengan sebaik-baiknya di permukaan bumi ini sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan menurut al-Qur’an dan al-Sunnah.

5. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam : Sebuah Rumusan Yang Ideal

Ruang lingkup pendidikan agama Islam memiliki cakupan yang luas, hal ini didasari karena ajaran Islam itu banyak memuat ajaran tentang tata hidup yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Dari itu maka pendidikan agama Islam merupakan pengajaran tata hidup yang berisi pedoman pokok yang digunakan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia dan untuk menyiapkan kehidupan yang sejahtera di akhirat nanti.

Selain alasan itu, pendidikan agama Islam juga merupakan pendidikan mansuia seutuhnya yang dapat membina seluruh aspek kehidupan manusia baik jasmani maupun rohani, agar peserta didik dapat menjalankan fungsi kehidupannya dengan baik, baik itu bagi pribadinya, masyarakat atau lingkungannya maupun bagi bangsa dan negaranya. Semua hal tersebut harus berjalan dengan cara seimbang, serasi dan sejalan, untuk itu maka dalam pendidikan agama Islam harus mencakup beberapa hal, yaitu:

a. Hubungan manusia dengan Allah Swt.

b. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri

c. Hubungan manusia dengan sesama manusia

d. Hubungan manusia dengan makhluk lain (alam lingkungannya).

Dari keempat rumusan di atas dapat dijelaskan bahwa hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan vertikal antara makhluk dengan Khaliqnya yang merupakan prioritas pertama dalam pendidikan Islam. Dalam melakukan hubungan ini seorang hamba harus benar-benar meyakini (mengimani) bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya; berserah diri kepada-Nya; banyak bersyukur kepada-Nya atas berbagai macam nikmat yang diberikan. Salah satu bentuk syukur misalnya dengan melakukan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah.

Dengan meyakini bahwa Allah adalah Sang Pencipta, Sang Pengasih dan Penyayang, maka manusia harus banyak bersyukur kepada-Nya, seperti dengan selalu mengingat-Nya, malakukan shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Dalam melakukan shalat dan berdo’a, seorang hamba harus melakukannya dengan cara sungguh-sungguh, segala pikiran dan perasan harus banar-banar terfokus (konsentrasi) kepada-Nya, jangan memikirkan yang lainnya (selain Allah). Begitu juga ketika seorang hamba sedang berdo’a harus dengan sungguh-sungguh dan penuh harap agar do’a yang dimintanya dikabulkan. Setelah melakukan do’a dan berusaha, seorang hamba harus juga berserah diri kepada-Nya karena memang hanya kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan.

Adapun yang menjadi inti dari hubungan antara manusia dengan Allah yaitu seorang hamba harus bertaqwa kepada-Nya dengan sebenar-benar taqawa, dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhkan segala larangan-Nya. Dengan melakukan taqwa maka akan menenangkan jiwa dan batinnya.

Kemudian hubungan manusia dengan dirinya sendiri adalah hubungan manusia sebagai makhluk individual yang membutuhkan perhatian bagi dirinya sendiri seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan rasa aman. Dengan melakukan hubungan ini manusia sebagai makhluk individual harus benar-benar memperhatikan akan kebutuhan dirinya sendiri. Kebutuhan akan kesehatan misalnya, agar kebutuhan ini terpenuhi maka dia harus menjaga kesehatan dirinya, misalnya dengan banyak berolah raga, tidak meminum-minuman keras, tidak memakai obat-obatan terlarang --seperti pil ekstasi, putau, sabu-sabu, heroin dan lain-lain--, tidak mengisap ganja, tidak melakukan perzinahan, tidak terlalu banyak bergadang dan lain sebagainya.

Adapun asumsi yang mendasari hal di atas adalah karena seluruh anggota tubuh kita mempunyai hak untuk dijaga dan dipelihara agar tetap menjadi sehat. Misalnya mata kita mempunyai hak, maka dari itu harus dipergunakan dengan sebaik baiknya, perut kita juga punya hak, maka dari itu penuhi hak-haknya dengan cara memakan makanan yang halal lagi baik; otak kita punya hak, maka jangan memakai obat-obatan terlarang karena akan membuat kerusakan pada sel-sel atau saraf-saraf otak, dan seterusnya.

Selain dari menjaga kesehatan fisik, manusia juga harus menjaga kesehatan jiwanya, misalnya dengan cara banyak beribadah kepada Allah dan selalu mengingatnya, dengan banyak mengingat Allah maka jiwa atau batin menjadi tenang, tentram, dan sekaligus juga bisa menimbulkan sifat tawaddhu’, sabar, dan lain sebagainya.

Kemudian kalau hubungan manusia dengan sesama manusia adalah hubungan horizontal dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasari karena pada hakikatnya manusia itu saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan hal tersebutlah maka bisa dipastikan bahwa manusia tidak akan “bisa hidup” tanpa orang lain. Untuk itu, dalam hal hubungan manusia dengan sesama manusia, Islam sangat menganjurkan adanya sikap saling tolong menolong, saling menasehati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan sosial, egaliter, dan tenggang rasa kebersamaan. Ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, warna kulitnya, dan bahasanya, akan tetapi ditentukan oleh ketaqwaannya yang ditunjukan oleh prestasi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia.

Sebagai contohnya dalam hal di atas dapat kita jumpai dari beberapa hadits Rasulullah yang banyak berpesan agar selalu memperhatikan tetangga yang ada di sebelah, jangan kenyang sendiri sementara tetangganya menderita kelaparan, jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar yang membuat orang lain merasa tersinggung, hendaklah setiap orang itu menyambung tali silaturahmi, memuliakan tamu yang berkunjung ke rumah, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Menurut penelitiaan yang dilakukan Jalaludin Rahmat yang dikutip Abuddin Nata, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Muamalah jauh lebih luas daripada ibadah (dalam arti khusus). Hal demikian dapat kita lihat misalnya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan sosial yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (diqashar atau dijama’ dan bukan ditinggalkan). Dalam hadits Rasulullah mengingatkan imam supaya memperpendek bacaan shalatnya bila di tengah jama’ah ada yang sakit, orang lemah atau orang tua.

Selanjutnya Islam juga menilai bahwa ibadah yang dilakukan secara berjamaah atau bersama-sama dengan orang lain nilainya lebih tinggi daripada shalat yang dilakukan secara perorangan dengan perbandingan 27 derajat. Islam juga menilai jika urusan muamalah seoarang hamba tidak baik maka urusan ibadahnya pun masih belum diterima, misalnya orang yang berbuat zalim tidak akan hilang dosanya meskipun dengan membaca zikir seribu kali, dan bahkan dari beberapa keterangan bahwa ibadah ritual tidak diterima bila pelakunya melanggar norma-norma muamalah.

Sedangkan hubungan yang terakhir adalah hubungan manusia dengan alam dan lingkungan sekitarnya (ekosistem) adalah hubungan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang tugasnya adalah untuk mengatur, memanfaatkan, mengolah atau mengelola alam dan lingkungan secara optimal dan benar. Dengan melakukan hal seperti ini seseorang bisa dikatakan telah cinta kepada tanah air, cinta kepada tanah air tidak akan melakukan hal-hal yang sifatnya bisa merusak tanah airnya (negaranya), seperti malakukan penebangan hutan secara liar karena bisa menyebabkan erosi dan banjir, jangan melakukan pemburuan terhadap satwa-satwa, jangan melakukan pertambangan liar secara membabi buta, jangan melakukan pencemaran terhadap lingkungan dan sebagainya.

Rasa cinta kepada tanah air merupakan sebagian dari iman seseorang (hub al-wathan min al-iman). Hal ini juga bisa kita cermati dari suatu riwayat yang mengisahkan ketika nabi ingin meninggalkan kota Mekah dan berhijrah ke Madinah, beliau berucap “demi Allah sesungguhnya engkau adalah bumi yang aku cintai, seandainya bukan karena orang yang tinggal di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu” (H. R. Tirmidzi).

Dalam hadits di atas nampak jelas sekali tersirat bahwa cinta kepada tanah air merupakan suatu keharusan, untuk itu kita harus memelihara dan mempertahankan tanah air tumpah darah ini sampai titik darah penghabisan dan jangan membuat kerusakan lingkungan sekitar yang bisa membuat kerusakan dan kesengsaraan berbagai makhluk hidup.

B. Era Global-Multikultural Sebagai Era Persaingan dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam

Dunia abad XXI akan mengalami transformasi dalam segala aspek kehidupan manusia. Proses transformasi itu dapat dirangkum dengan istilah globalisasi. Pengertian umum globalisasi merupakan suatu pengertian ekonomi. Namun demikian, konsep globalisasi yang baru masuk kajian dunia Universitas pada tahun 80-an, pertama-tama merupakan suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Robertson dari University of Pittsburgh.

Sejak konsep globalisasi muncul dalam dunia akademik, maka telah banyak ahli yang mencoba mengemukakan konsep-konsepnya mengenai globalisasi. Berdasarkan konsep-konsep globalisasi sejak tahun 1985 dapat disimpulkan karakteristik dari proses tersebut, yaitu:

1. Globalisasi lahir bersamaan dengan modernisasi di Barat sejak abad XVI saat mulai terjadi sistematisasi kehidupan ekonomi, hubungan internasional antar negara, dan lahirnya budaya global serta kesadaran global. Proses ini terus berkembang hingga sekarang dalam akselerasi yang semakin cepat.

2. Globalisasi berarti terjadinya hubungan sistemik dari semua hubungan-hubungan sosial di bumi ini. Kehidupan umat manusia seolah telah menyatu karena teknologi komunikasi.

3. Globalisasi mencakup fenomenologi konstruksi. Dunia seakan “menciut” (bukan dalam arti materi, tetapi dalam arti yang abstrak). Ruang biasnya diukur dengan waktu. Dengan komunikasi yang cepat maka ruang terasa lebih pendek atau terjadi konstraksi, proses globalisasi secara implisit mengeliminasi ruang. Dengan proses globalisasi maka sekat-sekat pembatasan ruang dan waktu semakin mengecil dan akhirnya hilang.

Seiring dengan isu globalisasi yang sedang mencuat akhir-akhir ini, isu tentang multikulturalisme juga ikut mendampinginya pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Kamus Longer Oxford Dictionary istilah “multikulturalisme” merupakan deviasi dari kata “multicultural”. Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multi-cultural dan multi-lingual.

Sebagai terminologi baru, H. A. R. Tilaar menyatakan, multikulturalisme belum begitu banyak dipahami orang. Karena memang istilah multikulturalisme itu sendiri ternyata bukanlah hal yang mudah. Di dalamnya mengandung dua pengertian yang sangat kompleks, yaitu “multi” yang berarti jamak atau plural, “kultural” berisi pengertian kultur atau budaya.

Lebih lanjut H. A. R. Tilaar mengatakan istilah plural itu sendiri mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan berarti sekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis, tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, ekonomi dan yang lainnya. Oleh sebab itu pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokratis tetapi tidak mengakui adanya pluralisme di dalam kehidupannya sehingga terjadi berbagai jenis segregasi. Pluralisme ternyata berkaitan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas. Komunitas-komunitas tersebut mempunyai budaya-budayanya masing-masing.

Adanya berbagai budaya dari masing-masing komunitas akan memberikan pertanyaan kepada apa makna budaya atau apa hakikat budaya. Pentingnya budaya di dalam kehidupan bermasyarakat menjadi masalah politik karena budaya merupakan alat perekat politik di dalam suatu komunitas (cultur matter). Oleh sebab itu, di dalam setiap negara memerlukan politik kebudayaan. Sebagaimana ungkapan Mohands Karamchad Gandhi yang menyatakan pentingnya budaya sebagai alat pemersatu bangsa.

Senada dengan ungkapan Gandhi di atas, Soedjatmoko pemikir budaya besar Indonesia telah menyatakan bahwa bangsa Indonesia mendambakan adanya suatu politik kebudayaan yang diperlukan dalam upaya mengikat bangsa ini, tatapi Soedjatmoko merasa kesulitan dan tidak mempunyai konsep yang pasti tentang bagaimana politik kebudayaan yang tepat untuk bangsa Indonesia, karena menurutnya kebudayaan Indonesia masih di dalam proses menjadi. Hal ini bisa dicermati dari ungkapannya yang mengatakan “bahwa gejala yang ada di dunia ialah orang mendambakan adanya suatu pegangan dalam transformasi sosial yang sedang melanda dunia, maka dari itu di dalam transformasi sosial diperlukan suatu keterarahan agar kita tidak teralienasi dalam gelombang yang datang bertubi itu, pegangan itu tidak lain adalah nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan itu sendiri.”

Multikulturalisme berkaitan pula dengan epistemologi. Berbeda dengan epistemologi filsafat yang memberikan arti kepada asal usul ilmu pengetahuan, demikian pula epistemologi di dalam sosiologi yang melihat perkembangan ilmu pengetahuan di dalam kaitannya dengan kehidupan sosial. Multikulturalisme dalam epistemologi sosial mempunyai makna yang lain. Dalam epistemologi sosial, tidak ada kebenaran yang mutlak. Hal itu berarti ilmu pengetahuan selalu mengandung arti nilai. Di dalam suatu masyarakat, yang benar adalah yang baik bagi masyarakat itu, yang benar tidak mendahului yang baik.

Selanjutnya Tilaar mengatakan bahwa pasang surut pengertian multikulturalisme dapat dibedakan sebagai berikut: pengertian tradisional multikulturalisme yang disebut juga gelombang pertama aliran multikulturalisme, mempunyai dua ciri utama, yaitu pertama, Kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition), dan kedua legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya.

Di dalam gelombang pertama multikulturalisme baru mengandung hal-hal yang esensial di dalam perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the other). Dalam tahap perkembangan selanjutnya yang disebut gelombang kedua, dari paham multikulturalisme telah menampung berbagai jenis pemikiran baru sebagai berikut:

Pertama, Pengaruh studi kultural. Studi kultural (cultural studies) antara lain melihat secara kritis masalah-masalah esensial di dalam kebudayaan kontemporer seperti identitas kelompok, distribusi kekuasaan di dalam masyarakat yang diskriminatif, peranan kelompok-kelompok masyarakat yang termarjinalisasi, feminisme, dan masalah-masalah kontemporer seperti toleransi antar kelompok dan agama.

Kedua, poskolonialisme. Pemikiran poskolonialisme melihat kembali hubungan antara eks penjajah dengan daerah jajahannya yang telah meninggalkan banyak stigma yang biasanya merendahkan kaum terjajah. Pandangan-pandangan poskolonialisme antara lain ingin mengungkit kembali nilai-nilai indigenous di dalam budaya sendiri dan berupaya untuk melahirkan kembali kebanggaan terhadap budaya asing.

Ketiga, globalisasi. Globalisasi ternyata telah melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Untuk itu timbul suatu upaya untuk menentang globalisasi dengan melihat kembali peranan budaya-budaya yang berjenis-jenis di dalam masyarakat. Revitalisasi budaya lokal merupakan upaya menentang globalisasi yang mengarah kepada monokultur budaya dunia.

Keempat, femenisme dan pos-femenisme. Gerakan feminisme yang semula berupaya untuk mencari kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki kini meningkat kearah kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan bukan hanya menuntut penghargaan yang sama dengan fungsi yang sama dengan laki-laki tetapi juga sebagai mitra yang sejajar dalam melaksanakan semua tugas dan pekerjaan di dalam masyarakat.

Kelima, pos-strukturalisme. Pandangan ini mengemukakan mengenai perlunya dekonstruksi dan rekonsturksi masyarakat yang telah mempunyai struktur-struktur yang telah mapan yang biasanya hanya untuk melanggengkan struktur kekuasan yang ada.

Jika memperhatikan perkembangan dari multikulturalisme gelombang kedua, maka dapat dikemukakan tiga tantangan multikulturalisme dewasa ini: Pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan. Komunitas, terutama negara-negara berkembang perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni Barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya untuk mengatasinya sehingga dapat berdiri sama tegak dengan dunia Barat.

Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya untuk mencari esensi budaya sendiri tanpa jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu di dalam era globalisasi.

Ketiga, proses globalisasi, globalisasi dapat berupa monokulturalisme karena gelombang dahsyat glogalisasi yang menggelinding menghancurkan bentuk-bentuk kehidupan bersama dan budaya tradisional --memang tidak budaya yang statis--, namun masyarakat yang kehilangan akar budayanya akan kehilangan tempat berpijak dan dia akan disapu bersih oleh gelombang dahsyat globalisasi, dan manusia akan kehilangan pribadinya, kehilangan identitasnya, dan hanya sekedar pemain-pemain atau konsumen dari imperialisme baru yang dibawa oleh globalisasi.

Demikianlah pengertian multikulturalisme yang telah mengalami banyak perubahan dan arah yang lebih beragam tanpa menghindarkan diri dari era masyarakat terbuka, hidup di dalam satu dunia, dan bertanggung jawab bersama atas keselamatannya.

Kembali kepembahasan sebelumnya (awal-awal munculnya isu multikulturalisme di Kanada). Multikulturalisme sering diartikan sebagai pengakuan terhadap kelompok-kelompok kecil untuk menjalankan kehidupannya, baik yang berkaitan dengan urusan politik maupun privat. Hak-hak mereka sebagai anggota masyarakat dijamin sepenuhnya oleh negara. Di samping itu, masyarakat saling menghargai satu sama lain. Menyadari keragaman etnis dan budaya yang ada, di Kanada sendiri sudah sejak lama menerapkan kebijakan ini. Bahkan pada 1972, didirikan minister of state for multiculturalism, dan pada 1982, multikulturalisme dimasukan ke dalam undang-undang sebagai bagian dari negara Canadian charter of rights and free doms.

Semangat yang paling penting dari multikulturalisme adalah living together as one society (hidup bersama sebagai satu masyarakat). Munculnya ide multikulturalisme didorong oleh kenyataan bahwa dunia, sejak lima puluh tahun yang lalu bergerak menjadi dusun global (global village). Dunia sekarang tidak lagi merupakan tempat di mana satu wilayah hanya dihuni oleh satu kelompok etnis, budaya, dan agama tertentu saja.

Keragaman ini harus diterima sebagai sebuah kenyataan. Orang yang tidak bisa menerima kenyataan ini sama saja ingin memaksakan untuk hidup di zaman pra-sejarah ---ketika manusia masih hidup dalam kelompok suku-suku yang menempati tempat-tempat tertentu---. Bagi orang yang memiliki pandangan eksklusif tentang kehidupan pasti sulit menerima kenyataan ini ketika tiba-tiba datang sekelompok orang tak dikenal (orang asing) datang dan tinggal di tanah leluhurnya.

Memang di beberapa negara, multikulturalisme menjadi perdebatan hangat baik di kalangan politis maupun intelektual. Dalam sejarahnya, Melani Budianata menyatakan multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang diwacanakan oleh J. Hector St. John De Crevecour seorang imigran asal Normandia yang menggambarkan bercampurnya berbagai manusia dari latar belakang berbeda menjadi bangsa baru “manusia baru”. Dalam hal ini Hector ingin menekankan penyatuan budaya dan “melelehkan” budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika. Dalam hal ini bagaimanapun juga, konsep melting pot masih menunjukan perspektif yang bersifat monokultur, karena acuan atau “cetakan budaya” yang dipakai untuk “melelehkan” berbagai asal budaya tersebut mempunyai karakteristik yang secara umum diwarnai oleh kelompok berkulit putih, berorientasi budaya anglo-sakson dan bernuansa kristen protestan (White Anglo Saxson Protestan)---biasa disebut WASP--- sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa.

Kemudian, ketika komposisi etnik Amerika kian beragam dan budaya mereka kian majemuk, maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru dengan nama salad bowl sebagai sebuah teori alternatif dipopulerkan oleh Horace Kallen. Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun budaya baru yang dibangun dalam keragaman. Teori salad bowl atau teori gado-gado tidak menghilangkan budaya asal, tetapi sebaliknya kultur-kultur lain di luar WASP diakomodir dengan baik dan masing-masing memberikan kontribusi untuk membangun budaya Amerika, sebagai sebuah budaya nasional. Pada akhirnya interaksi kultural antara berbagai etnik tatap masing-masing memerlukan ruang gerak yang leluasa sehingga dikembangkan teori cultural pluralism yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik yang seluruh etnik mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial politik mereka. Dalam konteks ini mereka homogen dalam sebuah tatanan budaya Amerika. Akan tatapi mereka juga memiliki ruang privat, yang di dalamnya mereka mengekspresikan budaya etnisnya secara leluasa.

Dengan berbagai teori di atas, bangsa Amerika berupaya memperkuat bangsanya, membangun kesatuan dan persatuan mengembangkan kebanggaan sebagai orang Amerika. Namun pada dekade 1960-an masih ada sebagian masyarakat yang merasa hak-hak sipilnya belum terpenuhi. Mereka itu adalah kelompok Amerika kulit hitam yang telah dibebaskan dari perbudakan sehabis perang saudara, tetapi mereka tak kunjung mendapatkan kesetaraan hak secara sosial dan politik. Gerakan masyarakat sipil ini kemudian diikuti oleh kaum perempuan pada tahun 1970-an dan “kaum berwarna” lainnya. Atas dasar itulah kemudian mereka mengembangkan multiculturalism pada awal 1980-an yang menekankan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas, baik dilihat dari segi etnik, agama, ras, budaya, dan bahasa.

Multikulturalisme pada akhirnya hanya sebuah konsep akhir untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya, dan bahasa, dengan menghargai dan menghormati hak sipil mereka, termasuk hak kelompok minoritas. Sikap apresiatif tersebut akan meningkatkan partisipasi mereka dalam membebaskan sebuah bangsa, karena mereka akan menjadi besar dengan kebesaran bangsanya, dan mereka akan bangga dengan bangsanya.

Indonesia sendiri sebagaimana ditegaskan Azyumardi Azra telah menyadari tentang kemajemukan ragam etnik dan budaya masyarakatnya. Indonesia diproklamirkan sebagai sebuah negara yang memiliki keragaman etnik tetapi tetap memiliki tujuan yang sama, yakni sama-sama menuju masyarakat adil makmur dan sejahtera. Akan tetapi gagasan besar tersebut kemudian tenggelam dalam sejarah dan politik “keseragaman budaya” (mono-kulturalisme) dari zaman Soekarno dan Soeharto.

Secara restrosfektif, politik mono-kulturalisme yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru atas nama stabilitas untuk developmentalism telah menghancurkan local cultural geniuses, seperti tradisi “pela gandong” di Ambon, “republik nagari” di Sumatra Barat dan lain-lain. Padahal, sistem atau tradisi sosio-kultural lokal seperti ini merupakan kekayaan kultural yang tidak ternilai bukan hanya bagi masyakat sendiri, tetapi juga bagi masyarakat-masyarakat lain. Lebih jauh lagi local cultural geniuses juga berfungsi sebagai defense mechanism dan sekaligus early warning system yang dapat memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat bersangkutan. Politik monokulturalisme yang telah menghancurkan local cultural geniuses ini pada gilirannya mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disintegrasi sosial budaya lokal. Konflik dan kekerasan yang bernuansa etnis dan agama yang khususnya marak sejak tahun 1996 sampai sekarang tidak terlepas dari hancurnya local cultural geniuses tersebut.

Tetapi penting dicatat, dari perspektif politik di Indoseia berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” (keseragaman) memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”. Kecenderungan ini jika tidak terkendali dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosial-kultural lebih lanjut, tetapi juga disintegrasi politik.

Pembentukan masyarakat multikultural di Indonesia yang sehat menurut Azyumardi Azra tidak bisa secara taken for granted atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas.

Kebutuhan dan urgensi pendidikan multikultural telah cukup lama dirasakan cukup mendesak bagi negara-negara majemuk seperti Indonesia ini. Apalagi dengan melihat realitas dan perkembangan terakhir kondisi sosial, politik, dan budaya bangsa, khususnya sejak “era reformasi” yang penuh dengan gejolak sosial politik dan konflik dalam berbagai level masyarakat, dan banyak munculnya aksi-aksi teror bom yang amat sangat meresahkan masyarakat membuat pendidikan multikultural terasa semakin dibutuhkan bagi masyakat Indonesia.

Dari Kedua uraian di atas --tentang globalisasi dan multikulturalisme-- menunjukan bahwa di era global-multikultural nampaknya memaksa kita mempersiapkan diri agar dapat tetap “survive” dalam kehidupan yang penuh dengan persaingan dan kemajemukan sehingga menuntut kerja keras dan hasil kerja berkualitas tinggi. Arus globalisasi yang syarat dengan kemajemukan yang sedang berjalan dan semakin meningkat eskalasinya dalam abad 21 bukan hanya memberikan tantangn-tantangan terhadap pendidikan Islam, tetapi juga memberikan peluang-peluang yang lebih luas.

Secara umum tantangan yang dihadapi oleh pendidikan Islam di era global- multikultural adalah bagaimana pendidikan Islam itu bisa menampilkan dirinya, apakah ia mampu mendidik dan menghasilkan para siswa yang memiliki daya saing tinggi (qualified) atau justru malah “mandul” dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan di era global-multikultural yang penuh dengan persaingan (competition) dalam berbagai sektor, baik itu sektor riil maupun moneter.

Adapun secara khususnya, Khairuddin Kurniawan yang dikutip Armai Arief mengatakan bahwa tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh pendidikan Islam di antaranya yaitu: Pertama, bagaimana pendidikan Islam itu meningkatkan nilai-nilai tambah atau produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sebagai upaya memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development).

Kedua, bagaimana pendidikan Islam itu mampu melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dengan transpormasi struktur sosial masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana pengembangan kualitas kehidupan sumber daya manusia (SDM).

Ketiga, bagaimana pendidikan Islam itu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam persaingan global. Dan keempat, bagaimana pendidikan Islam itu mamapu menghadapi tantangan terhadap munculnya inovasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.

Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi di bidang tersebut secara komprehensif dan komparatif yang berwawasan keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh ke depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar bebas. Untuk itulah --menurut penulis-- setiap lembaga (institusi) pendidikan (baik umum maupun Islam) harus mempersiapkan seluruh koponen-komponen pendidikan yang ada dengan sebaik-baiknya agar setiap lulusan (out put) pendidikannya bisa bersaing di era global- multikultural sesuai dengan konstelasi zaman.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa di era global-multikultural selain memberikan tantangan-tantangan yang harus dilakukan oleh pendidikan Islam juga memberikan peluang bagi pendidikan Islam. Adapun pelung-peluang tersebut secara umum yaitu bagaimana pendidikan Islam itu bisa menunjukan kapada dunia bahwa pendidikan Islam itu mampu untuk mengatasi semua itu (menjawab tantangan zaman) dan mampu menyiapkan peserta didiknya untuk bisa bersaing di era global- multikultural.

Selain itu, dengan adanya tantangan-tantangan tersebut hal ini juga bisa dijadikan peluang atau kesempatan kepada pendidikan Islam untuk merevitalisasi atau merevisi serta meninjau ulang berbagai komponen yang terdapat dalam pendidikan agar sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman.

No comments: