Monday, December 4, 2006

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

A. Sejarah Lahirnya Pendidikan Multikultural di Beberapa Negara : Suatu Pengantar Pengenalan Dasar

Pendidikan multikultural merupakan fenomena yang relatif baru di dalam dunia pendidikan. Sebelum Perang Dunia II, boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal. Malahan pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikultural merupakan gejala baru di dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama untuk semua orang (education for all).

H. A. R. Tilaar menegaskan setidaknya ada beberapa kekuatan di dunia yang telah melahirkan pendidikan multikultural, yaitu :

1. Proses Demokratisasi dalam Masyarakat

Sungguhpun paham demokrasi telah seumur kahidupan manusia di dunia ini, tapi pelaksanaannya tersendat-sendat, tidak merata dalam berbagai kelompok kehidupan manusia. Di dalam kehidupan manusia dikenal kelompok-kelompok yang menganggap dirinya mempunyai hak istimewa termasuk hak untuk memperoleh pendidikan yang tidak dinikmati oleh kelompok lainnya. Oleh sebab itu di dalam masyarakat yang demikian terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang tersisihkan dalam pendidikan.

Perjuangan untuk memperoleh pendidikan dari kelompok-kelompok yang tersisihkan tersebut antara lain merupakan salah satu perjuangan melawan opresi kolonialisme. Baik di negara-negara demokrasi maupun di negara-negara totaliter terdapat perbedaan perlakuan terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Perbedaan tersebut ada yang didasarkan kepada perbedaan ras, ideologi, etnik, dan yang lainnya. Misalnya perbedaan-perbedaan yang dulu terjadi di Afrika Selatan dengan politik segragasinya yang mengasingkan antara kelompok berkulit putih dengan hak-hak istimewanya, termasuk hak pendidikan, dan kelompok kulit berwarna terutama ras Afrika yang selalu disepelekan.

Oleh sebab itu, pendidikan multikulturalisme berjalan bergandengan dengan proses demokratisasi di dalam kehidupan masyarakat. Proses demokratisasi tersebut dipicu oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia yang tidak membedakan perbedaan-perbedaan manusia atas warna kulit, agama, dan gender. Semua manusia diciptakan oleh Tuhan dengan martabat yang sama tanpa membedakan akan warna kulit, asal usul, agama, dan jenis kelamin.

2. Pembangunan Kembali Sesudah Perang Dunia II

Sesudah Perang Dunia II terjadi perubahan besar di dalam tata kehidupan antar bangsa.yang ingin membangun kembali puing-puing kehancuran Perang Dunia II di Eropa. Seiring dengan pembangunan kembali Eropa adalah berakhirnya kolonialisme dengan lahirnya negara-negara baru, terutama Afrika. Penduduk eks koloni memasuki Perancis dan Inggris dan menjadi pekerja-pekerja yang dibutuhkan di dalam pembangunan kembali negara-negara itu. Migrasi penduduk, khususnya migrasi pekerja, lama-kelamaan meminta perlakuan yang adil terutama bagi generasi mudanya yang menuntut adanya pendidikan yang baik. Migrasi penduduk dunia lebih diintensifkan dengan adanya kemudahan-kemudahan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi transfortasi darat, laut, dan terutama transfortasi udara.

3. Lahirnya Paham Nasionalisme Kultural

Dengan munculnya berbagai kelompok bangsa bermukim di negara-negara maju yang semakin pesat, lama kelamaan membentuk sesuatu kekuatan sendiri atau menuntut hak-haknya sebagai “warga negara” yang baru. Dari situ kemudian lahirlah kelompok-kelompok etnis baru dengan kebudayaannya masing-masing, memberikan warna baru dalam kebudayaan tuan rumah yang sebelumnya sedikit banyak bersifat homogen.

Sejalan dengan perkembangan paham demokrasi dan hak asasi manusia di atas, kelompok-kelompok etnis baru tersebut mulai melebur di dalam etnis mainstream. Dengan adanya kelompok-kelompok baru ini, munculah paham nasionalisme baru yang tidak lagi berkonotasi etnis tetapi lebih merupakan pengertian kultural. Di situlah nasionalisme kultural mulai lahir menggantikan nasionalisme etnis, dan pendidikan juga mulai terbuka untuk kebutuhan kelompok-kelompok etnis baru, sekaligus mempersiapkan paradigma baru bagi kelompok mayoritas dengan kebudayaan mainstreamnya.

Dari gelombang-gelombang peruhan tersebut di atas itulah yang melahirkan pendidikan multikultural di berbagai negara dengan berbagai coraknya masing-masing. Seperti di Amerika Serikat kita melihat perkembangan pendidikan multikultural yang berawal dari penghapusan segregasi dari kelompok warga negara Amerika yang berasal dari Afrika (American Afrika) yang ditantang sangat keras oleh gerakan-gerakan Civil Rights yang dipelopori oleh Dr. Martin Luther King. Gerakan Civil Rights ini lebih memacu lagi lahirnya pendidikan multikultural sejak dekade 70-an abad ke-20.

Gerakan demokratisasi pendidikan yang diwujudkan di dalam pendidikan multikultural di Amerika akhirnya juga berimbas di negara tetangganya, Kanada. pendidikan multikultural di Kanada mempunyai wajah yang berlainan karena sejak semula sebagian dari negara Kanada mengenal budaya yang belainan, yaitu budaya Prancis di negara bagian Quebec. Perkembangan pendidikan multikultural di Kanada dengan demikian lebih bersifat progresif dibandingkan dengan negara tetangganya.

Di Jerman dan Inggris, pendidikan multikultural dipacu oleh migrasi penduduk akibat pembangunan kembali Jerman atau migrasi dari eks jajahan Inggris memasuki Inggris Raya. Kebutuhan akan kelompok-kelompok etnis baru ini terhadap pendidikan generasi mudanya telah meminta paradigma baru di dalam pendidikan yang melahirkan pendidikan multikultural.

Kemudian juga di Australia, pendidikan multikultural mendapatkan momentumnya dengan perubahan politik luar negri Australia. Seperti diketahui Australia merupakan suatu negara yang relatif tertutup bagi kelompok kulit berwarna. White man policy yang belum lama ditinggalkan oleh pemerintah Australia telah menyebabkan migrasi dari kelompok-kelompok etnis bukan hanya dari Eropa tetapi juga dari Asia seperti India, Cina, Vietnam, dan juga dari Indonesia.

Dari pengalam negara-negara tersebut di atas yang telah menerapkan praksis pendidikan multikultural kita dapat mengambil manfaatnya sebagai modal dasar penerapan pendidikan multikultural di Indonesia, meski kita sadari bahwa penerapan pendidikan multikultural di negara-negara tersebut sifatnya lain bila dibandingkan dengan di Indonesia. Penerapan pendidikan multikultural di negara-negara tersebut di atas seakan-akan bertentangan dengan budaya homogen, tetapi di Indonesia pendidikan multikultural dapat diterapkan dalam perspektif pluralitas bangsa Indonesia.

B. Definisi Pendidikan Multikultural dalam Konteks Keindonesiaan

Di atas telah kita lihat wacana tentang pendidikan multikultural terus kian mengemuka seiring dengan terus bergulirnya arus demokratisasi dalam kehidupan bangsa, yang berimplikasi terhadap penguatan civil society dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Maka dari itu, pendidikan multikultural masih diartikan sangat beragam dan belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multikultural tersebut berkonotasi pendidikan tentang keragaman budaya, atau pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai keragaman budaya.

Kamanto Sunarto sebagaimana dikutip Dede Rosyada menjelaskan bahwa pendidikan multikultural biasa diartikan sebagai pendidikan keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan yang menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk membina sikap siswa agar menghargai keragaman budaya masyarakat.

Sementara itu, Azyumardi Azra mengatakan, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paolu Freire yang ditulis Muhaimin el-Ma’hady yang mengatakan pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusahan menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.

Prudence Crandall (1803 – 1890) seorang pakar pendidakn dari Amerika yang dikutip Ainurofiq Dawam memberikan pandangannya tentang pendidikan multikultural, menurutnya pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan) dan budaya (kultur).

Dengan cara yang lebih terang, Banks dan Banks yang dikutip Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai bidang kajian dan disiplin yang muncul yang tujuan utamanya menciptakan kesempatan pendidikan yang setara bagi siswa dari ras, etnik, kelas sosial dan kelompok budaya yang berbeda.

Dari beberapa definisi yang dikemukakan para pakar pendidikan, semuanya tampak mengarah pada tujuan yang sama yaitu bagaimana mewujudkan sebuah bangsa yang kuat, maju, adil, makmur dan sejahtera tanpa membedakan etnik, ras, agama dan budaya. Seluruhnya harus bersatu pada membangun kekuatan di seluruh sektor, sehingga tercapai kemakmuran bersama, memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

Dengan demikian, pendidikan multikultural dalam konteks ini bisa diartikan sebagai sebuah proses pendidikan yang memberikan peluang sama pada seluruh anak bangsa tanpa membedakan perlakuan karena perbedaan etnik, budaya dan agama yang memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak yang sama bagi etnik minoritas dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia internasional.

Selain itu, pendidikan multikultural bisa juga dikatakan sebagai sebuah proses pengembangan seluruh potensi manusia serta menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, dan aliran agama. Dengan demikian pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan manusia yang setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun dia datang dan berbuadaya apapun dia. Dengan demikian, pendidikan multikultural juga bisa dijadikan solusi (pemecahan atau jalan keluar) terhadap banyaknya konflik horizontal yang nyaris memecahkan bangsa Indonesia dewasa ini.

C. Konsep Dasar dan Prinsip Pemyusunan Program Pendidikan Multikultural di Indonesia

Pendidikan multikultural merupakan suatu wacana lintas batas. Dalam pendidikan multikultural terkait masalah-masalah keadilan sosial (social justice), demokrasi dan hak asasi manusia. Tidak mengherankan apabila pendidikan multikultural di Indonesia berkaitan dengan isu-isu politik, sosial, kultural, moral, edukasional dan agama.

H. A.R. Tilaar mengatakan bahwa para pakar pendidikan mengidentifikasikan tiga lapisan diskurusus yang berkaitan dengan pendidikan multikultural di Indonesia:

1. Masalah kebudayaan, hal ini berkait dengan masalah identitas budaya suatu kelompok masyarakat atau suku. Bagaimanakah hubungan antara kebudayaan dengan kekuasaan dalam masyarakat sehubungan dengan konsep kesetaraan di masyarakat. Apakah kelompok-kelompok dalam masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang sama dalam kesempatan mengekspresikan identitasnya di masyarakat luas.

2. Masalah kebiasaan-kebiasaan, tradisi; hal ini terkait dengan berbagai macam pola-pola kelakuan yang hidup di dalam suatu masyarakat.

3. Masalah kegiatan atau kemajuan tertentu (achievement) dari kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang mana hal itu merupakan suatu identitas yang melekat pada kelompok tersebut.

Biasanya dalam diskusi pendidikan multikultural di Indonesia para pakar hanya membatasi kepada lapisan yang pertama, yaitu masalah budaya dalam arti yang luas. Namun, dalam praksis pendidikan, pengertian masalah budaya saja belum cukup karena yang lebih penting ialah bagaimana praktik-praktik kebudayaan dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat setiap hari. Selanjutnya, apakah ada prestasi atau sifat-sifat tertentu dari suatu kelompok masyarakat yang menonjol yang sekiranya dapat dijadikan contoh dalam hidup bermasyarakat tanpa adanya prasangka-prasangka yang negatif.

Dari ketiga konsep pendidikan multikultural yang tersebut di atas menyangkut beberapa persoalan mendasar, yaitu:

1. Perlu adanya konsep yang jelas mengenai kebudayaan. Misalnya, apakah yang dimaksud dengan kebudayaan nasional?. Apakah kebudayaan nasional Indonesia merupakan campuran dari berbagai budaya suku yang ada dalam masyarakat Indonesia? Masalah ini telah muncul sejak polemik kebudayaan tahun 1935 dan mungkin permasalahannya akan terus-menerus menjadi wacana yang tidak pernah akan selesai;

2. Bagaimana peranan pendidikan dalam membentuk identitas budaya dan identitas bangsa Indonesia? Hal ini juga merupakan suatu wacana yang terus menerus akan muncul dalam proses pendidikan dan proses kehidupan bangsa Indonesia yang berbudaya;

3. Bagaimanakah hakikat pluralisme yang berarti pengakuan terhadap kelompok-kelompok minoritas di masyarakat? Hal ini memang merupakan hal yang ruwet yang tidak jarang dapat menimbulkan kontraksi dalam kehidupan masyarakat. Ketegangan-ketegangan horizontal yang terjadi akhir-akhir ini dalam masyarakat Indonesia merupakan suatu pergolakan dalam mencari jawaban terhadap hakikat pluralisme;

4. Bagaimana hak orang tua dalam menentukan pendidikan anaknya? Pertanyaan ini juga akan muncul dalam masyarakat yang pluralis yang tidak jarang menimbulkan pergesekan-pergesekan di masyarakat; dan

5. Nilai-nilai manakah yang akan dipertimbangkan (shared values) dalam masyarakat majemuk (pluralistic society). Hal yang ini berkaitan dengan masalah yang pertama yaitu mengenai konsep kebudayaan.

Dari kelima permasalahan yang dikemukakan di atas menunjukan betapa rumit dan banyaknya masalah yang ditimbulkan dalam pendidikan multikultural di Indonesia. Masalah-masalah yang muncul dari pendidikan multikultural di Indonesia secara umum ada dua hal, yaitu: Pertama, pendidikan multikultural merupakan suatu proses. Artinya, konsep pendidikan multikultural yang baru dimulai dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia memerlukan proses perumusan, refleksi dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsep-konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak-hak asasi manusia.

Kedua, pendidikan multikultural merupakan suatu yang multifaset. Oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin (border crossing) dari para pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin memperhalus dan mempertajam konsep pendidikan multikultural yang dibutuhkan oleh masyarakat yang dalam hal ini masyarakat Indonesia.

Konsep dasar dari pendidikan multikultural itu memiliki empat nilai inti (core values), yaitu: a). Apersepsi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat. b). Pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia. c). Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia. d). Pengembangan tanggung jawab manusia dan terhadap planet bumi.

Berdasarkan nilai-nilai inti di atas, maka dapat dirumuskan enam tujuan yang berkaitan dengan nilai-nilai inti tersebut, yaitu: Pertama, mengembangkan perspektif sejarah (etno-historisitas) yang beragam dari kelompok-kelompok masayrakat. Kedua, memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat. Ketiga, memperkuat kompetensi intelektual dan budaya-budaya yang hidup di masyarakat. Keempat, “membasmi” rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka (prejudice). Kelima, mengembangkan kesadaran atas kepemilikkan planet bumi, dan Keenam, mengembangkan keterampilan aksi sosial (social action).

Konsep di atas merupakan suatu konsep dasar yang terintegrasi dan meliputi tujuan-tujuan yang sangat komprehensif. Oleh sebab itu, diperlukan penjabaran dari konsep tersebut di dalam berbagai jenis kegiatan, yaitu: Pertama, reformasi kurikulum, yaitu diperlukan suatu teori kurikulum baru yang sesuai dengan analisis histories yang termasuk di dalamnya analisis buku-buku pelajaran yang tidak sesuai dengan pluralisme budaya.

Kedua, mengajarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Juga dalam hal ini diperluas aksi-aksi budaya atau social action untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan ras, baik di dalam budaya-budaya tingkat tinggi maupun di dalam budaya populer dengan melihat struktur demokrasi masyarakat.

Ketiga, mengembangkan kompetensi multikultural, yaitu pengembangann identitas etnis dan sub-etnis melalui kegiatan kebudayaan, demikian pula memberantas berbagai jenis prasangka yang buruk dan menjaukan nilai-nilai negatif dari suatu kelompok etnis.

Keempat, melaksanakan paedagogik kesetaraan (equality pedagogy) yang dilaksanakan di sekolah dengan pengajaran yang tidak menyinggung perasaan atau tradisi dalam suatu kelompok tertentu. Demikian pula praktek-praktek dalam budaya sekolah yang tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki.

Reformasi pendidikan multikultural yang berkaitan dengan berbagai kegiatan seperti reformasi kurikulum, mengajarkan keadilan sosial, kompetensi multikultural, dan pedagogik kesetaraan (equality pedagogy) sebagaimana yang telah diterangkan di atas.

D. Implementasi Kurikulum Pendidikan Multikultural di Indonesia

Dari konsep dasar pendidikan multikultural yang telah dijelaskan di atas, yaitu mengenai nilai-nilai dan tujuan pendidikan multikultural. Untuk mencapai nilai-nilai multikultural bisa dicapai berdasarkan tiga sumber, yaitu konsep mengenai kebutuhan peserta didik, konsep mengani kebutuhan masyarakat, dan konsep mengenai peranan dan status mata pelajaran yang akan disampaikan. Dari prinsip-prinsip tersebut disusunlah suatu rumusan mengenai tujuan pendidikan multikultural.

Dari tujuan pendidikan inilah direncanakan kurikulum dan keputusan-keputusan instruksional yang akan dilaksanakan. Perencanaan kurikulum meliputi pemilihan mata pelajaran yang akan disajikan, kemudian dirumuskan menganai tujuan instruksional yang akan dicapai degan mata pelajaran tersebut. Sumber-sumber apa yang diperlukan dan rencana evaluasi dari mata pelajaran yang bagaimana yang sesuai dengan perkembangan peserta didik.

Dalam keputusan instruksional meliputi persiapan peserta didik untuk menyerap mata pelajaran, misalnya di dalam membangkitkan perhatian peserta didik, diagnosis proses pembelajaran dan hubungan-hubungannya dengan --atau kesinambungan dalam-- mata pelajaran yang disajikan. Demikian pula cara-cara penyampaian pelajaran, yaitu informasi apa yang akan diberikan, contoh-contoh apa yang perlu disajikan dan megecek kembali pengertian yang diharapkan diperoleh peserta didik. Keputusan instruksional juga meliputi petunjuk-petunjuk praktis dalam pelaksanaannya. Begitu pula dengan petunjuk-petunjuk yang khas untuk setiap mata pelajaran yang akan disajikan.

Dari uraian yang tersebut di atas mungkin timbul pertanyaan pada kita apakah penyajian pendidikan multikultural disajikan sebagai mata pelajaran ataukah merupakan suatu bentuk penyajian yang terintegrasi? Menjawab persoalan tersebut, sebaiknya pendidikan multikultural tidak diberikan dalam suatu mata pelajaran yang terpisah, tetapi terintegrasi di dalam suatu mata pelajaran yang relevan. Dalam mata pelajaran ilmu sosial, mata pelajaran bahasa, tujuan yang telah dirumuskan mengenai pendidikan multikultural dapat dicapai tanpa memberikan suatu mata pelajaran tertentu. Di dalam mata pelajaran kewarganegaraan (civic education) ataupun pendidikan moral (moral education) merupakan wadah untuk menampung program-program pendidikan multikultural.

Menurut Bunnet sebagaimana ditulis Azyumardi Azra mengatakan pendidikan multikultural itu memiliki tiga macam program yang dapat diterapkan oleh sekolah dan masyarakat secara keseluruhan. Pertama, program yang berorientasi pada materi (content-oriented programs) yang merupakan bentuk pendidikan multikultural yang paling umum dapat cepat dipahami, tujuan utamanya adalah memasukan materi tentang kelompok budaya yang berbeda dalam kurikulum dan materi pendidikan dalam rangka meningkatkan pengetahuan siswa mengenai kelompok-kelompok ini. Dalam bentuknya yang paling sederhana bentuk program ini menambahkan aspek multikultural ke dalam kurikulum yang standar. Versi yang lebih canggih dari bentuk ini yaitu mengubah kurikulum secara aktif dengan tiga tujuan: 1) mengembangkan muatan multikultural melalui berbagai disiplin. 2) memasukan sejenis sudut pandang dan perspektif yang berbeda dalam kurikulum. 3) mengubah aturan, yang pada akhirnya mengembangkan paradigma baru bagi kurikulum.

Kedua, program yang berorientasi siswa (student-oriented programs), yang dimaksudkan untuk meningkatkan prestasi akademik kelompok siswa yang berbeda, meskipun ketika itu mereka tidak memberikan perubahan besar dalam muatan kurikulum. Beberapa program ini tidak dirancang untuk mengubah kurikulum atau konteks sosial pendidikan, melainkan membantu siswa dengan budaya dan bahasa yang berbeda untuk memciptakan perubahan dalam mainstream pendidikan, terdapat beberapa kategori program yang khas : 1) program yang menggunakan riset dalam model belajar yang berbasiskan budaya (culturally-based learning styles) dalam menentukan gaya mengajar mana yang digunakan pada kelompok siswa tertentu. 2) program dua bahasa (bilingual) atau dua budaya (bicultural). 3) program bahasa yang mengandalkan bahasa dan budaya sekelompok siswa minoritas.

Ketiga, program yang berorientasi sosial (socially-oriented programs) yang berupaya mereformasi pendidikan maupun konteks politik dan budaya pendidikan, yang bertujuan bukan untuk meningkatkan prestasi akademik atau menambah sekumpulan pengetahuan multikultural, melainkan memiliki pengaruh yang sangat meningkatkan toleransi budaya dan ras serta mengurangi bias. Di samping itu, kategori program ini tidak hanya meliputi program yang dirancang untuk menstrukturkan kembali dan menyatukan sekolah, tetapi juga program ini dirancang untuk meningkatkan semua bentuk hubungan di kalangan kelompok etnik dan ras dalam program belajar bersama tanpa membedakan perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap individu. Bentuk pendidikan multikultural ini menekankan ‘hubungan manusia’ dalam semua bentuknya, dan menggabungkan beberapa karakteristik dua bentuk program lainnya; yaitu: program yang menuntut perbaikan kurikulum dalam rangka menekankan kontribusi sosial yang positif dari kelompok etnis dan budaya, sambil menggunakan riset tentang model belajar untuk meningkatkan prestasi siswa dan mengurangi ketegangan dalam ruang kelas.

Selain membicarakan pendidikan multikultural di dalam bentuk penyajiannya dalam kurikulum, pendidikan multikultural dapat pula disajikan dalam pengertian pendidikan yang lebih luas, yaitu dalam seluruh budaya lembaga pendidikan. Baik dalam keluarga, lingkungan sekolah, maupun masyarakat luas. Dengan demikian, pendidikan multikultural lebih tepat disebut sebagai suatu proses mata pelajaran atau dengan kata lain di dalam lingkungan sekolah (school education) pendidikan multikultural merupakan pengembangan budaya pluralisme dalam kehidupan sekolah (school culture) sebagai lembaga masyarakat (social institution).

Indonesia sendiri sebenarnya belum memiliki pengalaman dalam hal mengeimplementasikan pendidikan multikultural yang terdesain secara terencana, karena memang pendidikan multikultural baru saja dimulai. Selain itu juga otonomi daerah baru kita cobakan. Oleh sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk-bentuk dan sistem yang cocok bagi Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisis budaya atas masyarakat Indonesia yang pluralitik itu, tetapi juga meminta suatu kerja keras untuk melaksanakannya.

Dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural di Indonesia memang bukan sesuatu yang taken for granted atau trial and error, tetapi butuh kerja keras dan perjuangan yang panjang. Akan tetapi, karena Indoensia baru memulai tentang pendidikan multikultural ini, untuk itu diperlukan suatu rujukan dari beberapa Negara yang memang sudah menerapkan pendidikan multikultural di negaranya. Seperti apa yang dijelaskan oleh Dede Rosyada bahwa prosedur yang harus ditempuh dalam implementasi pendidikan multikultural di Indonesia adalah penyiapan kurikulum yakni menyisipkan berbagai kompetensi yang harus dimiliki siswa tentang multikulturalisme pada mata pelajaran yang relevan, karena multikulturalisme baru hanya sebuah gerakan dan belum menjadi sebuah ilmu yang komprehensif.

Selain itu (penyiapan kurikulum) harus diikuti pula dengan perumsuan berbagai materi yang sesuai dengan kompetensi yang hendak dicapai, dan diikuti pula dengan rumusan proses pembelajaran yang lebih memberikan peluang bagi para siswa untuk pembinaan dan pengembangan sikap, disamping pengetahuan dan keterampilan sosial yang terkait dengan upaya pengembangan sikap multikulturalistik.

Lebih lanjut Dede Rosyada menjelaskan bahwa mengenai masalah materi-materi yang akan dihantarkan dalam pendidikan multikultural hendaklah memperhatikan beberapa hal sebagai berikut ini :

1. Tentang hak-hak dari setiap individu dan hak-hak kolektif dari setiap anggota masyarakat, yakni setiap individu dari suatu bangsa memiliki hak yang sama untuk terpenuhi seluruh hak-hak asasi kemanusiaannya dan begitu pula secara kolektif walaupun mereka berasal dari kelompok etnik minoritas dan tidak memiliki perwakilan dalam birokrasi dan lembaga legislatif, tapi mereka memiliki hak yang sama dengan kelompok mayoritas untuk menyampaikan aspirasi politiknya, dan yang sebagainya.

2. Tentang kebebasan individual dan budaya, yakni bahwa setiap individu termsuk dari etnik minoritas memiliki kebebasan berekspresi, berkarya, bahkan untuk mengembangkan dan memajukan budayanya.

3. Tentang keadilan dan hak-hak minoritas, yakni seluruh anggota masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh keadilan dari negara.

4. Jaminan minoritas untuk bisa berbicara dan keterwakilan aspirasinya dalam struktur pemerintahan atau legislatif.

Kemudian H. A. R. Tilaar mengatakan bahwa prinsip dasar dari penyusunan program-program pendidikan multikultural adalah: Pertama : Pendidikan multikultural didasarkan kepada pedagogik baru, yaitu pedagogik yang berdasarkan kesetaraan manusia (equity pedagogiy). Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui akan hak asasi manusia tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa, kelompok bengsa untuk hidup berdasarkan kebudayaan sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip kesetaraan individu, antar individu, antar bangsa, antar budaya, antar agama, dan sebagainya. Pedagogik kesetaraan tidak mengakui akan perbedaan-perbedaan artifisial yang telah dibuat oleh manusia di dalam sejarah kehidupannya. Pedagigik kesetaraan berpangkal kepada pandangan mengenai kesetaraan martabat manusia.

Kedua, Pendidikan multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia indonesia cerdas. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mengembangkan pribadi-pribadi manusia Indonesia agar menjadi manusia-manusia yang cerdas. Hanya manusia cerdaslah yang dapat membangun kehidupan bangsa yang cerdas. Manusia cerdas adalah manusia yang menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya untuk peningkatan mutu kehidupan, baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok, dan sebagai anggota masyarakat bangsanya.

Kemudian manusia cerdas juga manusia yang bermoral dan beriman sehingga kecerdasan yang dimilikinya bukan untuk memupuk kerakusannya mengusai sumber-sumber lingkungan secara berlebihan ataupun di dalam kemampuannya untuk memperkaya diri sendiri secara tidak sah (korupsi), tetapi seorang manusia cerdas yang bermoral pasti akan bertindak untuk tujuan yang baik.

Selanjutnya manusia yang cerdas bukanlah yang ingin membenarkan apa yang dimilikinya, cita-citanya, agamanya, ideologi politiknya untuk dipaksakan kepada orang lain, tetapi seorang manusia yang cerdas mengakui akan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam hidup bersama sebagai kekayaan bersama dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Di bawah ini penulis akan coba tawarkan sebuah tabel tentang manusia Indonesia “cerdas” yang telah dijelaskan oleh H. A. R. Tilaar.

Gambar 4. Tabel Manusia Indonesia “CERDAS”

Siakap & Tingkah Laku

Kompetensi

Cerdik-pandai (educated)

*Kemampuan analisis

*Dapat mengambil pilihan

*Menguasai ilmu pengetahuan

*Gemar belajar

Energik-kreatif

*Daya Kreatif

*Rajin, kerja keras

*Tahan uji

Responsif terhadap

masyarakat demokratis

*Toleransi terhadap perbedaan

*Persatuan Indonesia yang pluralistik

*Inklusivisme

Daya Guna (skilled)

*Keterampilan yang bermanfaat

*Pemanfaatan sumber daya alam Indonesia

Akhlak mulia (moral, religius)

*Bermoral

*Anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)

*Religius substanstif

Sopan santun (civilized)

*Mengenal adat istiadat setempat

*Mengenal tata pergaulan internasioal

Demikianlah secara garis besarnya gambaran manusia ceradas yang perlu dibina dalam masyarakat Indonesia yang beragam. Membangun manusia cerdas seperti yang telah digambarkan di atas bukanlah hal yang mudah yang dapat terwujud dalam semalam. Membina manusia cerdas merupakan suatu proses panjang yang perlu didukung oleh seluruh kegiatan di dalam masyarakat Indoneisa. Untuk itu adanya pendidikan multikultural adalah sebagai salah satu sarana untuk membangun manusia cerdas yang merupakan suatu aspek dari dalam kehidupan berbangsa. Hal ini berarti bahwa pendidikan multikultural di Indonesia merupakan pancaran dari paham multikultural yang seharusnya merupakan pedoman di dalam membangun masyarakat Indonesia.

E. Upaya Menemukan Format Pendidikan Multikultural dalam Undang-undang Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Setelah cermati perkembangan pendidikan multikultural dari mulai penyebab lahirnya, konsep dasar dan prinsip penyusunan programnya, bagaimana mengimplementasikannya dalam bentuk kurikulum, serta bagaimana keperluannya dalam rangka membangun masyarakat Indonesia baru, maka sekarang perlu cermati apakah di dalam Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 tersebut telah diberikan indikasi pengembangan pendidikan multikultural? Atau apakah undang-undang tersebut dapat dijadikan acuan untuk pendidikan multikultural?.

Apabila kita cermati Undang-undang No. 20 tahun 2003 maka tampak dengan jelas bahwa undang-undang tersebut belum mengatur mengenai pendidikan multikultural. Jiwa dari undang-undang tersebut adalah idealistik, dan bukan futuritik. Undang-undang tersebut sangat idealistik yang mengupayakan perwujudan cita-cita luhur dari bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini dapat dilihat di dalam rumusan Pasal 3 yang menyatakan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Rumusan yang sangat indah dalam Pasal 3 tersebut tentunya bersifat sangat abstrak, dan oleh sebab itu bukanlah futuristik. Dalam penyusunsn undang-undang tersebut memang tidak secara eksplisit menggunakan pertimbangan-pertimbangan mengenai Visi Indonesia Masa Depan maupun Etika Kehidupan Berbangsa yang diperlukan di dalam masyarakat dewasa ini.

Kemudian lagi di dalam bab Ketentuan Umum, undang-undang ini hanya menjelaskan mengenai pengertian-pengertian pokok yang diatur di dalam Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam ketentuan umum tersebut dirumuskan, pengertian Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait serta terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Sebagai suatu rumusan yang idealistik maka undang-undang ini tidak memperhitungkan faktor ruang dan waktu. Faktor ruang dan waktu dalam era reformasi dewasa ini sangat penting sebab dalam era demokrasi kita memberi tempat bagi lokalitas yang bertingkat, dari lokalitas yang paling dekat, meningkat menjadi lokalitas regional dalam pengertian lokalitas etnis yang meningkat menjadi lokalitas nasional (bangsa Indonesia) dan akhirnya lokalitas global.

Pada masa Orde Baru dan sebelumnya, faktor lokalitas tersebut cenderung diabaikan dan yang dipentingkan ialah lokalitas nasional. Tidak mengherankan apabila terdapat kecenderungan mementingkan keperluan nasional yang uniform dengan kekuasaan sentralistis dari birokrasi pemerintah pusat.

Dari keseluruhan Undang-Undang No. 20 tersebut dapat pula dicatat beberapa pasal yang menyinggung sedikit mengenai kemungkinan dikembangkannya pendidikan multikultural. Dalam Pasal 55 yang mengatur mengenai pendidikan berbasis masyarakat, ayat (1) dirumuskan sebagai berikut : “masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat”.

Rumusan ayat ini tentunya sangat luas, oleh sebab itu belum diarahkan kepada keperluan yang kongkrit mengenai pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang berdasarkan kepada kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya. Kepentingan msyarakat tertentu belum berarti mengatur mengenai saling pengertian dan saling apresiasi pada kebudayaan yang beraneka ragam dalam masyarakat Indonesia. Toleransi hidup bersama, kerjasama antar suku, antar agama, belum diketengahkan dalam ayat ini. Penjelasan pasal ini hanya mengatakan bahwa kekhasan satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat tetap dihargai dan dijamin oleh undang-uandang ini.

Di dalam bab yang mengatur mengenai kurikulum, khususnya Pasal 37 menjelaskan mengenai muatan kurikulum, antara lain pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Penjelasan kedua ayat ini sangat umum, luas, dan abstrak. Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi menusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Di dalam penjelasan ayat ini tidak dikemukakan mengenai pentingnya upaya membangun kerukunan hidup di dalam kenyataan keberagaman agama dan kepercayaan bangsa Indonesia. Hal ini penting, sebab konflik yang hidup dalam kultur dan religi plural di Indonesia telah menyebabkan banyak korban di dalam kehidupan bersama. Di dalam pendidikan agama barangkali perlu ditonjolkan pentingnya teologi inklusif di dalam proses pendidikan di Indonesia dalam masyarakat yang pluralistik.

Berkenaan dengan pendidikan kewarganegaraan, pasal ini merumuskan mengenai tujuan pendidikan kewarganegaraan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebengsaan dan cinta tanah air. Rumusan ini juga sangat luas dan mencakup banyak hal. Pendidikan kewarganegaraan adalah sebagian dari sebagian pendidikan kewargaan yang perlu dimiki oleh setiap peserta didik karena dia adalah warga dalam masyarakatnya, dan akhirnya sebagai warga dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (kewarganegaraan). Kajian bahasa daerah di dalam kurikulum hanya mengatakan sebagai bahasa ibu dan bukan sebagai milik budaya lokal yang dimiliki oleh setiap peserta didik dalam masyarakat yang pluralis.

Pasal 41 mengatur mengenai tenaga pendidik. Ayat (1) pasal ini mengatakan pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah. Selanjutnya di dalam penjelasan ayat ini dikatakan : “pendidik dan tenaga kependidikan dapat bertugas di mana pun dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rumusan Pasal 41 ayat (1) ini sangat baik tetapi juga mempunyai implikasi yang jauh. Apabila pendidik dapat bertugas di manapun di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tentu para pendidik tersebut diberi bekal pengetahuan mengenai budaya yang pluralis dari masyarakat Indonesia.

Selain itu, tentunya juga berimplikasi kepada undang-undang kepegawaian yang khusus mengatur tenaga pendidik dan kependidikan. Peranan tenaga pendidik di dalam membentuk Masyarakat Indonesia Baru yang Pluralistik di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat penting. Pendidikan multikultural menuntut genre pendidik Indonesia baru, dan untuk itu sudah waktunya kita merealisasikan Undang-Undang Guru yang telah dirumuskan.

No comments: