Monday, December 4, 2006

REFORMASI PENDIDIKAN ISLAM DI ERA MULTIKULTURAL

A. Alasan Perlunya Reformasi Pendidikan Islam di Era Multikultural

1. Kondisi Obyektif Pendidikan Islam di Era Global-Multikultural

Pendidikan Islam adalah aktivitas rutin sehari-hari umat Islam yang berkesinambungan terus menerus. Aktivitas keseharian yang dimulai dari bangun tidur sampai tidur kembali; dari pranatal sampai manula. Aktivitas kalangan elit-intelektual maupun orang biasa-awam; keluarga kaya maupun miskin; dan di desa maupun di kota.

Berbicara tentang pendidikan dalam format pernyataan seperti di atas sebenarnya tidak mengundang begitu banyak persoalan. Persoalan baru muncul kepermukaan jika aktivitas pendidikan Islam dihadapkan pada refleksi krisis “kesejahteraan” yang melibatkan perbandingan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Terlebih jika “teori-teori” keilmuan seperti psikologi, antropologi, sosiologi, dan filasafat turut terlibat dalam proses evaluasi dan analisis aktivitas pendidikan Islam yang telah berjalan rutin dan berkesinambungan tersebut.

Ibarat seseorang yang melihat hutan lebat dari atas ketinggian jalajah pesawat terbang, maka yang nampak cuma pemandangan hijau daun yang menyenangkan dipandang mata. Tetapi begitu ia turun dan mendekat ketengah hutan, kiranya hutan yang terlihat hijau dari kejauhan tidak seluruhnya demikian. Di sana terdapat jurang-jurang, bukit-bukit terjal, lubang-lubang bebatuan, aneka ragam pepohonan, semak belukar, bunga-bunga yang berwarna warni, hewan-hewan yang bermacam-macam dan begitu seterusnya, yang masing-masing punya wilayah kajian keilmuan sendiri-sendiri, baik botani, geologi, pertambangan, kehutanan, pertanian dan sebagainya.

Sama halnya dengan dunia pendidikan Islam. Jika dilihat dari kejauhan, ia merupakan aktivitas rutin sehari-hari yang tidak begitu banyak menimbulkan persoalan yang perlu dicermati dan ditelaah lebih lanjut. Namun demikian, ia sesungguhnya sebuah sistem yang rumit yang melibatkan beragam institusi, materi pengajaran, metodologi pengajaran, serta manajerialnya, yang kesemuanya juga mempunyai karakteristik sendiri-sendiri dan punya implikasi dan konsekwensi sendiri-sendiri pula.

Sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab I di atas, bahwa di era multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan Islam sedang mendapatkan tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari ekskluivitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim-non muslim, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas yang selalu indoktrinasi. Pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaian menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Di Sekolah-sekolah Islam dari levelnya yang paling rendah (SD bahkan dari TK) sampai ke Perguruan Tinggi fenomena ini tumbuh subur.

Paradigma pendidikan Islam yang eksklusif-doktrinal ini telah menciptakan kesadaran umatnya untuk memandang agama lain secara amat berbeda, bahkan bermusuhan. Padahal di era multikulturalisme dan pluralisme dewasa ini, pendidikan Islam mesti melakukan reorientasi filosofis-paradigmatik tentang bagaimana membentuk kesadaran peserta didik agar berwajah inklusif dan toleran.

Selain itu, pendidikan dan pengajaran agama kebanyakan terlalu menekankan doktrin “keselamatan” yang didasarkan pada kebaikan hubungan antara diri “seorang individu” dengan “Tuhannya”, dan kurang begitu memberikan tekanan yang baik antara diri “individu” dengan “individu-individu sesamanya”.

Perbedaan asumsi dasar dan filosofi cara memperoleh keselamatan antara kedua model tersebut besar sekali implikasi dan konsekwensinya dalam upaya menyusun muatan materi, silabus, dan kurikulum pendidikan agama di sekolah-sekolah. Selain itu, pendidikan agama yang semata-mata selalu menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri akan menjadikan anak didik kurang begitu sensitif dan kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, dan kesulitan yang dialami oleh orang lain yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah “lawan” secara akidah.

Visi dan misi pendidikan agama di era kontemporer masih tampak sekali diwarnai dan didominasi oleh asumsi dasar paradigma klasik-skolastik dari para konseptor dan perancang yang terlalu menggarisbawahi keyakinan dan anggapan bahwa “keselamatan kelompok” amat ditentukan oleh dan tergantung pada “keselamatan individual”. Dengan lain ungkapan, bahwa keselamatan individual bagaimanapun juga adalah jauh lebih pokok dan lebih utama daripada keselamatan sosial. Artinya, jika individu-individu dalam masyarakat bertingkah laku baik dan bermoral agamis, maka secara otomatis “masyarakat”, kehidupan sosial kelompok, dan kolektif juga akan berlaku baik serta bermoral. Begitu pula sebaliknya.

Selain dari permasalahan di atas, masalah materi pendidikan agama pun pada saat ini masih banyak yang lebih dan terpokus pada urusan untuk kalangan sendiri (individual affairs atau private affairs) dan kurang peduli pada isu-isu umum dalam bentuk al-ahwal al-ammah (public morality atau public affairs).

Pendidikan agama merupakan sebagai salah satu sub sistem pendidikan nasional yang diajarkan dari SD --bahkan TK-- sampai perguruan tinggi tidak luput dari telaah teoritik baik dari aspek normatif maupun historisnya. Pendidikan agama sarat dengan beban muatan normatif dan muatan historis-empiris. Oleh karena itu, amat menarik untuk mengkaji ulang, mencermati dan meneliti “paradigma”, “konsep”, serta pemikiran pendidikan agama yang ditawarkan oleh kurikulum, silabus, literatur, dan para pengajarnya di lapangan dalam era kemajemukan, lebih-lebih jika upaya demikian dikaitkan dengan pencarian berbagai sumber atau akar konflik dan kerusuhan sosial dalam masyarakat plural.

Sejauh mana secara historis, praktek pendidikan agama sejak dari awal penyusunan kurikulum, silabus, guru, dosen, metode pengajaran, pilihan buku wajib dan literatur yang digunakan, tujuan dan semangat pendirian sekolah serta akses guru-guru agama dalam memahami isu pluralitas atau kemajemukan penganut agama-agama lain di tanah air Indonesia?. Semua pertanyaan tersebut perlu dicermati satu persatu. Tulisan ini sudah barang tentu tidak akan menjangkau seluruh aspek tersebut. Hanya beberapa hal yang dianggap relevan yang akan diungkap dan dikupas lebih lanjut.

Selain itu, pada saat sekarang masih banyak juga kekerasan yang terjadi di ruang kelas. Di ruang kelas, anak didik tak memiliki ekspresi diri. Sosok anak itu hanya berharga jika hanya sesuai dengan citra guru, pengelola pendidikan, elit agama, dan pemerintah yang selalu menganggap diri “moralis”. Anak-anak itu tak pernah mengerti, mengalami dan menyadari kebaikan dan kebenaran disaat semua telah tersedia oleh paket-paket pembelajaran. Dalam konteks ini, penindasan memasuki bangku sekolah.

Keunikan pribadi dan keagamaan serta keberagaman jadi barang haram di ruang kelas, anak-anak hanyalah tiruan pribadi kelas, sekolah, masyarakat, bangsa dan agama. Keseragaman adalah kebaikan dan kebenaran. Namun anak-anak harus bersaing atas dirinya dan dengan orang lain agar berharga bagi dirinya, orang tua, masyarakat, bangsa dan agamanya menurut versi elit. Namun keberagaman dianggap sesuatu yang menyalahi kehendak Tuhan, makanya harus dikutuk, dijauhkan dan dipenjarakan.

Dari beberapa persoalan di atas, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah dapatkah para peneliti (researchers) dalam pendidikan agama, kritikus pendidikan sosial-keaagamaan dan lebih-lebih para praktisi yang berkecimpung langsung dalam bidang pendidikan agama di era multikultural menyusun dan mengajukan konsep baru yang bernuansa reformatif demi pembenahan tujuan, kurikulum, materi, metode pengajaran, manajemen serta sarana dan prasarana dan lain sebagainya dalam bidang pendidikan agama di bangku sekolah dan perkuliahan?.

Sebenarnya upaya-upaya yang bernuansa reformatif dan rekonstruktif terhadap model pendidikan agama dan pendidikan sosial-keagamaan di era multikultural sangatlah dituggu-tunggu kehadirannya oleh masyarakat luas. Selain mempertanyakan iman, akidah, serta identitas individu dan kelompok masing-masing pengikut agama, upaya-upaya reformatif dan rekonstruktif yang mempunyai corak dan titik tekan tersendiri juga memberikan porsi yang seimbang pada usaha-usaha memperteguh dan memperkokoh perlunya solidaritas dan kontak sosial-keagamaan dalam masyarakat luas demi tujuan mengantisipasi munculnya berbagai tantangan, benturan, dan tuntutan era global-multikultural, kompetisi dan pluralisme budaya, agama, suku, etnik, dan ras.

Rupanya ijtihad pada bidang yang terkait langsung dengan pendidikan agama dalam konteks keislaman dan keindonesiaan sekarang ini jauh lebih diperlukan dan mendesak sifatnya daripada ijtihad-ijtihad dalam bidang hukum yang biasa dipahami dan dikonotasikan selama ini.

2. Reformasi Komponen Pendidikan Islam di Era Global-Multikultural

Dengan memperhatikan kondisi obyektif pendidikan di Indonesia sekarang ini, dirasa perlu untuk melakukan reformasi beberapa komponen pendidikan yang ada di dalamnya, seperti: tujuan pendidikan, kurikulum, guru, proses balajar mengajar, manajemen, serta masalah sarana dan prasarana pendidikan agar dapat sesuai dengan tuntutan zaman. Mengenai kenapa alasan itu dilakukan adalah karena keberhasilan pendidikan itu sangat ditentukan oleh komponen-komponen yang ada di dalamnya. Adapun mengenai bagaimana reformasi beberapa komponen tersebut, secara lebih rincinya ialah sebagai berikut :

a. Reformasi pada Tujuan Pendidikan

Pada zaman sekarang, pendidikan Islam harus mampu menghasilkan manusia yang takwa dan produktif dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi bagi peningkatan tarap hidupnya, masyarakat, dan negaranya. Tren kehidupan pada abad 21 adalah antara agama dan intelek akan saling bersingkronosasi (bertemu).

Dengan tujuan ini, pendidikan Islam dapat menjadi alternatif pendidikan modern. Pendidikan Islam tidak hanya menjadi “cagar budaya” dengan mempertahankan paham-paham keagamaan tertentu, tetapi juga sebagai agent of chaenge tanpa harus menghilangkan ciri khas keislamannya. Dengan demikian pendidikan Islam akan responsif terhadap tuntutan masa depan, yaitu bukan hanya mendidik siswanya menjadi manusia yang shaleh tetapi juga produktif, kreatif dan kompetitif. Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan Islam harus dapat melaksanakan empat tuntutan sebagai berikut :

1). Kejelasan cita-cita dengan langkah-langkah yang operasional di dalam usaha mewujudkan cita-cita pendidikan Islam;

2). Memberdayakan kelembagaan dengan menata kembali sistemnya;

3). Meningkatkan dan memperbaiki manajemen;

4). Peningkatan mutu sumber daya manusianya (SDM).

Selain itu, anak didik yang dihasilkan oleh pendidikan Islam bukanlah hanya anak yang mengetahui sesuatu secara benar (to know) melainkan juga harus disertai dengan mengamalkannya secara benar (to do), mempengaruhi dirinya (to be) dan membangun kebersamaan hidup dengan orang lain (to live together).

Kemudian pendidikan Islam juga harus menghasilkan manusia yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Terbuka dan bersedia menerima hal-hal baru hasil inovasi dan perubahan; berorientasi demokratis dan mampu memiliki pendapat yang tidak selalu sama dengan pendapat orang lain; berpijak pada keyakinan, menghargai waktu, konsisten dan sistematik dalam menyelesaikan masalah; meyakini dan menghargai pendapat orang lain; rasional dan percaya pada kemampuan iptek; menjunjung tinggi keadilan berdasarkan prestasi, kontribusi dan kebutuhan; serta berorientasi kepada produktifitas, efektifitas, dan efisiensi; kemudian manusia yang penuh percaya diri (selp confiedent) serta mampu malakukan pilihan-pilihan secara arif serta bersaing dalam era global-multikultural.

b. Reformasi pada Kurikulum

Berkaitan dengan reformasi tujuan pendidikan Islam di atas, maka kurikulum dan bahan ajar pun harus ditinjau ulang. H. A. R. Tilaar mengatakan, kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan kegiatan suatu lembaga pendidikan untuk mewujudkan visi dan misi lembaganya. Pendidikan Islam sebagai sub sistem pendidikan nasional perlu menyusun kembali kurikulum yang sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam pendidikan Islam, kurikulum setidaknya harus memiliki tiga komponen berikut ini :

1). Komponen akademik, komponen ini menekankan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bahasa dunia, seperti bahasa Inggris. Untuk keperluan ini diperlukan susunan suatu rencana yang kongkrit bagaimana meningkatkan kondisi yang ada serta menyiapkan perbaikan yang berkesinambungan.

2). Kebutuhan masyarakat, dalam hal ini kurikulum harus memperhatikan kebutuhan nyata dari masyarakat, baik itu kebutuhan masyarakat lokal, nasional, regional, dan global sebagai stake holders dan user pendidikan.

3). Kekhasan pendidikan Islam (madrasah), komponen ini merupakan komponen yang sangat penting. Ciri khas pendidikan Islam tidak hanya sekedar pemberian mata pelajaran agama, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas aktivitas pendidikan Islam. Suasana lembaga pendidikan Islam yang melahirkan ciri khas tersebut mengandung unsur-unsur kehidupan moral yang beraktualisasi dan manajemen profesional, terbuka dan berperan aktif dalam masyarakat.

Adapun mengenai bahan ajar yang cocok pada zaman sekarang adalah bahan ajar yang terdiri dari pelajaran-pelajaran tentang kehidupan fisik, sosial-budaya, serta pelajaran-pelajaran yang membawa anak kepada pemahaman terhadap diri sendiri. Dengan hal seperti itu anak didik akan dapat mengarungi kehidupannya di zaman yang penuh dengan tantangan dan kompetisi ini. Selain itu, bahan ajar yang dituangkan dalam kurikulum juga harus memiliki kesesuaian dan keterkaitan (link and mach) dengan kebutuhan lapangan kerja untuk bekal peserta didik selanjutnya. Kebutuhan pembaharuan kurikulum bagi pendidikan Islam ini mutlak dilakukan bukan hanya dalam konteks membangun sistem pendidikan Islam yang distingtif, tapi juga membangun dan mengembangkan quality Islamic education. Reformasi pada kurikulum merupakan suatu keniscayaan jika pendidikan Islam ingin memberikan sumbangsih yang lebih bermakna dan signifikan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian, kurikulum yang bersifat normatif perenialis sudah tidak cocok lagi diterapkan pada masa sekarang.

c. Reformasi pada Proses Belajar Mangajar

Seiriring dengan adanya perubahan pada bidang tujuan kurikulum pendidikan tersebut di atas, maka bentuk proses belajar mengajar pun harus pula ditinjau ulang. Model pengajaran yang hanya bertumpu pada aktivitas guru (teacher centries) harus diimbangi dengan pengajaran yang menggerakan dan melibatkan siswa secara aktif (student centries). Filosofi dan paradigma mengajar tidak lagi didasarkan prinsip mengisi air ke dalam gelas, tetapi lebih pada prinsip menyalakan lampu, menggali potensi dan membantu melahirkan anak didik, serta menempatkan guru sebagai bidan yang membantu dan membimbing anak didik melahirkan gagasan dan produktivitasnya.

Lebih jauh lagi proses balajar mengajar juga harus dilakukan dan diarahkan pada mengubah cara belajar dari model warisan kepada model belajar pemecahan masalah, dari model hafalan ke dialog, dari pasif ke aktif, dari memiliki (to have) ke menjadi (to be), dari mekanis ke kreatif, dari menguasai materi sebanyak-banyaknya ke menguasai metodologi yang kuat, dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan ke mamandang dan menerima ilmu sebagai yang berada dalam dimensi proses.

Selain dengan pentingnya proses balajar mengajar yang inovatif dan kreatif tersebut, maka perlu diterapkan metode pengajaran yang lebih banyak melibatkan peserta didik seperti inter-active learning, partisipative learning, cooperative learning, quantum teaching, quantum learning dan sebagainya perlu diterapkan. Dengan kata lain cara balajar yang melibatkan siswa aktif ini tidak hanya menekankan pada penguasaan materi sebanyak-banyaknya, melainkan juga terhadap proses dan metodologi.

Sebagaimana yang telah diterangkan di atas, pada era global-multikultural sudah tentu cara belajar mengajar yang indoktriner dan menghafal materi sebanyak-banyaknya tidaklah relevan lagi. Yang perlu dikuasai peserta didik adalah informasi dan pengetahuan yang diolah sendiri (digested information) atau belajar mandiri. Peserta didik harus mencari sendiri informasi yang diperlukan untuk dirinya dengan tuntunan guru. Belajar mandiri (independen learning) harus menggantikan metode belajar dengan cara menghafal secara “membabi buta” (rote learning). Tentunya proses belajar mengajar seperti ini perlu dilengkapi dengan fasilitas belajar yang memadai.

Proses belajar mandiri bukan berarti menjadi seorang yang individualis, karena kemajuan ilmu pengetahuan merupakan hasil kerjasama dari berbagai macam ahli. Oleh karena itu belajar dan bekerjasama merupakan suatu bentuk kelakuan yang perlu dikembangkan dan dipupuk dengan tanpa membedakan identitas dari masing-masing individu dalam satu kelompok belajar.

d. Reformasi pada Tenaga Pengajar (Guru)

Seiring dengan perubahan paradigma beberapa komponen pendidikan tersebut di atas, maka paradigma guru pun harus mengalamui perubahan. Guru di era global-multikultural berbeda dengan guru pada masa agrikultur. Jika pada era agrikultur guru merupakan satu-satunya tempat untuk mendapatkan informasi, pada saat itu guru adalah bukan satu-satunya orang yang harus digugu dan ditiru, dimuliakan, dan terkadang juga dianggap “kramat” yang penuh mengandung “berkah”. Maka pada era sekarang guru bukan lagi satu-satunya agent of information karena masyarakat sudah memiliki banyak jaringan informasi yang dapat diakses lewat peralatan canggih.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka fungsi guru mengalami perubahan dan pengembangan. Guru dapat berfungsi sebagai motivator yang menggerakkan anak didik pada sumber belajar yang dapat diakses, guru berfungsi sebagai dinamisator yang memacu anak didik agar mengembangkan kreativitas dan imajinasi anak didik, guru juga sekaligus sebagai evaluator dan justificator yang menilai dan memberikan catatan, tambahan, pembenaran dan sebagainya terhadap hasil temuan siswa, guru juga bisa dijadikan sebagai mitra belajar siswa dalam memecahkan permasalahan memperoleh pengetahuan.

Dengan melihat kenyataan zaman, seorang guru juga dituntut memiliki profesionalisme. Guru yang profesional bukan hanya sekedar alat untuk transmisi kebudayaan, tapi juga mentransformasikan kebudayaan ke arah budaya yang dinamis yang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, produktivitas yang tinggi , dan kualitas karya yang bermutu.

Guru yang profesional bukan lagi merupakan sosok yang berfungsi seperti robot, tetapi merupakan fasilitator dan dinamisator--sebagaimana yang telah disebutkan di atas--yang mengantarkan peserta didik dengan potensi yang dimilikinya kearah kreativitas dan produktivitas. Adapun tugas seorang guru profesional meliputi tiga bidang utama, yaitu : dalam bidang profesi, dalam bidang kemanusiaan, dan dalam bidang kemasyarakatan.

Dalam bidang profesi, seorang guru profesional berfungsi untuk mengajar, mendidik, dan melaksanakan penelitian tentang kependidikan. Kemudian dalam bidang kemanusiaan, guru profesional berfungsi sebagai pengganti orang tua dalam peningkatan kemampuan intelektual peserta didik. Guru profesional menjadi fasilitator untuk membantu peserta didik mentransformasikan potensi yang dimiliki menjadi kemampuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Dalam bidang kemasyarakatan, guru berfungsi untuk memenuhi amanat dalam pembukaan UUD 1945, yaitu ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Sesuai dengan diferensiasi tugas dari masyarakat modern, sudah tentu tugas pokok utama guru adalah di dalam bidang profesinya tanpa melupakan tugas-tugas kemanusiaan dan kemasyarakatannya.

Dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya, guru profesional haruslah memiliki berbagai kompetensi. Kompetensi guru profesional antara lain : kemampuan untuk mengembangkan potensi pribadi peserta didik, khususnya kemampuan intelektual. Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, seorang guru profesional tentunya harus menguasai pengetahuan yang luas, khususnya bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik, serta memiliki kemampuan teknis dalam penyusunan program pengajaran dan melaksanakannya.

Seorang guru profesional harus mampu mengadakan evalusai di dalam proses belajar mengajar dan membimbing peserta didik untuk mencapai tujuan program balajar mangajar. Selain itu, seorang guru profesional adalah seorang yang kominikator, ia dapat berkomunikasi dengan siswanya dalam upaya mengembangkan kepribadian peserta didik, seorang guru profesional juga harus bisa menguasai bahasa digital, sehingga bisa mengarahkan anak didiknya untuk menggali pengetahuan dan informasi dari dunia ciber.

Dengan demikian, seorang guru harus dapat memposisikan dirinya sebagai pendamping dan mitra belajar siswa, guru juga harus dapat berperan sebagai “aktor intelektual” yang selalu ada di belakang layar. Ia semacam “provokator” yang tut wuri handayani.

e. Reformasi pada Manajemen Pendidikan

Manajemen pendidikan disebut juga dengan pengelolaan pendidikan. Manajemen pendidikan sebagai suatu kegiatan yang mengimplikasikan adanya perencanaan atau rencana kegiatan secara matang. Pada zaman sekarang, sistem manajemen pendidikan yang didasarkan pada kekeluargaan sebagaimana pada masyarakat agraris sudah tidak cocok lagi, maka menjadi keharusan untuk diganti dengan yang lebih relevan. Dalam kaitan ini, menurut Abuddin Nata paling kurang ada tiga sistem manajemen pendidikan yang relevan untuk digunakan, yaitu : Pertama, Total Quality Managemen (TQM), teori manajemen ini menekankan pada Costomer Oriented Quality dengan melihat lebih sensitif terhadap mutu yang diperoleh melalui team work yang solid dan leadership yang handal.

Kedua, Banchmarking Managemen, manajemen ini didasarkan pada teori bahwa untuk meningkatkan mutu produksi harus didasarkan pada standardisasi mutu yang baku, sehingga tujuan produksi menjadi jelas. Dengan demikian proses produksi mengarah kepada suatu level tertentu yang sudah dirumuskan dan disepakati sebagai sebuah model.

Ketiga, School Based Managemen, manajemen ini didasarkan pada teori bahwa proses pengambilan keputusan dan perumusan tujuan pendidikan yang selama ini dilakukan oleh otoritas birokrasi pusat harus didelegasikan kepada pelaksana di lapangan, yakni sekolah. Sehingga dengan demikian efektifitas dan efesiensi pencapaian tujuan lebih dapat dipertanggung jawabkan.

f. Reformasi pada Sarana dan Prasarana Pendidikan

Seiring dengan perubahan paradigma pada berbagai komponen pendidikan di atas, maka sarana dan prasarana pendidikan Islam pun harus dikembangkan. Jika selama ini sarana dan prasarana pendidikan hanya terbatas pada gedung sekolah, papan tulis, dan kapur tulis, maka pada era global-multikultural seperti sekarang ini berbagai sarana yang memungkinkan yang berada di luar sekolah dapat diintegrasikan dan digunakan. Surat kabar, majalah, radio, televisi, komputer, musium, vidio, CD player dan lain sebagainya dapat digunakan sebagai sarana pendidikan dengan sistem kerjasama dengan pihak-pihak terkait.

Khusus mengenai sarana telekomunikasi dan informasi, komputer dan internet pun dapat digunakan. Kini pun tengah dirancang suatu konsep yang memungkinkan seorang guru atau dosen dari jarak jauh dapat mengajar puluhan kelas di berbagai kota di dalam maupun luar negri dengan waktu yang bersamaan.

B. Pendidikan Agama dengan Pendekatan Multikultural di Sekolah Umum

Pendidikan agama di sekolah umum memiliki landasan ideologis dan konstitusional, karena negara (dalam UUD pasal 29) memberikan hak hidup kepada agama-agama, bahkan berhak mengatur kehidupan beragama bangsanya termasuk pendidikan agama.

Pendidikan agama di sekolah umum, selain memiliki fungsi transformasi pengetahuan keagamaan (ranah kognisif) kepada siswa, juga sebagai sarana yang dianggap efektif dalam proses transformasi norma-norma dan nilai-nilai moral (ranah afektif), meskipun pendidikan agama bukan satu-satunya mata pelajaran yang bertanggung jawab dalam menangani kegiatan pendidikan moral.

Pendidikan agama juga memberikan kontribusi besar dalam pembentukan watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional ( pasal 3 UU Sisdiknas). Kecerdasan yang dimaksud meliputi kecerdasan intelektual, emosional, moral, dan spritual.

Pendidikan agama, sebagaimana penjelasan pasal 37 ayat 1 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.

Pasal 12 ayat 1 (a) UU RI Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang dinyatakan “ setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.

Melalui kerangka itu, pendidikan agama memiliki beban akademik yang amat berat dalam menghantarkan cita-cita pendidikan Nasional. Ia harus bertanggung jawab atas persoalan-persoalan yang seharusnya menjadi tanggung jawab semua mata pelajaran. Kita dapat mengambil contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Merosotnya nilai mata uang tidak akan mempersalahkan para ekonom; stres dan depresi yang menjamur tidak akan mempersalahkan psikolog; roboh dan terbakarnya bangunan tidak akan mempersalahkan insinyur; pertikaian etnik tidak akan mempersalahkan sosiolog; bahkan demonstrasi anarkis tidak akan mempersalahkan politikus. Lalu mengapa dan apa, kebobrokan moral selalu dialamatkan pada pendidikan agama dan agamawan? Inilah tantangan bahkan peluang bagi pendidikan agama dan gurunya untuk merespon persoalan tersebut.

Pendidikan agama dengan pendekatan multikultural merupakan satu upaya untuk menengarai berbagai klaim buruk yang selama ini dialamatkan pada pendidikan agama, selain upaya-upaya seperti integerasi pendidikan agama dengan Iptek; demokratisasi dalam pendidikan agama; dan sebagainya.

Pendidikan agama dalam persepektif multikultural memiliki makna “ penyelenggaraan atau pelaksanaan pendidikan agama yang mempertimbangkan segala bentuk keragaman dan perbedaan kultur, baik secara vertikal dan horizontal”. Hal ini mengingatkan kita kepada pola pemahaman agama yang “kedisinian” dan “kekinian” dalam memahami dan melaksanakan ajarannya. Memang agama diturunkan oleh Tuhan bercirikan universal, tanpa sekat suku, adat, bahasa, dan stratifikasi sosial, ekonomi, dan politik, namun dalam tataran praktis, realisasi ajaran agama akan menunjukan corak yang unik ketika berada dalam satu konteks zaman, tempat, dan keadaan.

Pendidikan agama dalam persepektif multikultural menurut Indra Djati Sidi memiliki fungsi :

1. Demokrasi dalam mengakomodir aspirasi, kebutuhan dan kepentingan semua golongan masyarakat yang plural, teruatama yang terkait dengan masalah keagamaan, sehingga polarisasi pro-kontra terhadap pendidikan agama di sekolah dapat diatasi. Bahkan diharapkan pendidikan agama di Indonesia menjadi jembatan bagi keragaman etnik, tradisi, dan bahasa dalam membendung benturan di era global-multikultural yang penuh kompetisi serta pluralisme agama dan budaya.

2. Menepis agamaisasi yang kaku, formalistik, dan eksklusivistik pada pendidikan nasional, karena dengan pendekatan multikultural akan mengarahkan pada keterbukaan interpretasi dan kebijakan dalam pelaksanaan pendidikan agama.

3. Menepis tuduhan islamisasi perundang-undangan pendidikan nasional, atau pemihakan pemerintah terhadap kaum muslimin. Upaya ini semata-mata memberikan public service pendidikan sesuai dengan hak-hak peserta didik, tanpa membedakan agama apapun.

Multikultural dalam pendidikan agama mengarahkan orientasi kurikulum pendidikan agama pada kebersamaan, toleransi, inklusivitas berfikir, dan hormat-menghormati atas kebebasan beragama. Artinya, masing-masing peserta didik merasa aman dan tenang dengan agama yang diyakini, tanpa adanya gangguan yang berati dari kebijakan penyelenggaraan pendidikan agama. Dalam hal ini, pola pendidikan religiusitas dengan segala dimensi-dimensi pengetahuan agama (intellectual involvement); praktek keagamaan (ritual involvement); pengalaman (experiential involvement); keyakinan beragama (ideological involvement); dan pengalaman beragama (consequential involvement) harus lebih ditekankan ketimbang pola ritualisasi, sehingga yang muncul berupa kesadaran dan kearifan beragama.

Pendidikan agama dengan pendekatan multikultural memiliki hubungan simbitotik. Satu sisi pendidikan agama perlu membumi di dalam keragaman kultur, sementara di sisi yang lain keragaman kultur memerlukan perekat yang dapat menengarai segala bentuk perbedaan. Dalam kaitan ini, Indra Djati menyatakan terdapat lima pola hubungan :

a. Sinkritisme ; dengan cara mencampuradukan agama menjadi satu dengan kultur, sehingga agama menjadi bagian dari kultur dan kultur menjadi bagian tak terpisahkan dari agama.

b. Reconception ; Menyelami dan meninjau kembali antara pemahaman agama dan pemahaman kultur ketika keduanya dikonfrontasikan.

c. Sintetis; menciptakan paham baru yang elemen-elemennya diambil dari peleburan agama dan kultur.

d. Penggantian ; Meyakini bahwa agama merupakan jalan hidup yang paling benar dan menafikan kultur, sehingga berusaha menghapus kultur untuk digantikan dengan agama. Atau sebaliknya.

e. Agree in disagreement ; Setuju dalam perbedaan antara posisi agama dan kultur yang telah disepakati masyarakat.

Barangkali pola yang ke-lima inilah yang dapat dipergunakan untuk pengembangan simbiotik antara agama dan keragaman kultur.

Dalam internal masing-masing pemeluk agama, tafsir inklusif-pluralis dalam memahami ajaran agama menjadi prasyarat bagi terealisasinya pendidikan agama berbasis multukultural di Indonesia. Bagaimana mungkin terjadi hubungan dialogis antara dua pihak yang masing-masing ngotot mempertahankan pendapatnya sendiri, tetapi jika masing-masing pemeluk agama, terutama yang terlibat langsung di dalam pendidikan memahami akan perbedaan penafsiran, maka pasti inklusivitas multikultural akan terbentuk.

C. Implementasi Pendidikan Multikultural Melalui Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Pendidikan multikultural sebagaimana dibicarakan melalui proses diskursus kependidikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir di Indonesia, nampaknya dalam hal ini para pemerhati pendidikan mengharapkan pengembangan fokus dan atau pengayaan pendidikan nilai yang lebih memberikan penghormatan terhadap seluruh hak-hak warga negara dengan tidak membedakan ras, agama, budaya dan warna kulit, dan tanpa mengurangi hak-haknya itu termasuk untuk kelompok minoritas yang mungkin tidak terwakili dalam lembaga-lembaga pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif.

Dengan demikian, pendidikan multikultural adalah pendidikan nilai yang harus ditanamkan pada siswa sebagai warga negara agar memiliki persepsi dan sikap multi-kulturalistik, bisa hidup berdampingan dalam keragaman watak kultur, agama dan bahasa, menghormati hak setiap warga negara tanpa membedakan etnik mayoritas dan minoritas, dan dapat bersama-sama membangun kekuatan bangsa sehingga diperhitungkan dalam percatura global dan nation dignity yang kuat.

Implementasi pendidikan multikultural pada jenjang pendidikan menengah, dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan kewargaan dan pendidikan agama (Islam). Pendidikan multikultural melalui pendidikan agama (Islam) dapat dilakukan melalui penambahan atau perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks pembinaan akhlak mulia dengan memberi penekanan pada berbagai kompetensi dasar. Kemudian pendidikan multikultural melalui pendidikan agama (Islam) juga harus dilakuakan dengan pendekatan deduktif diawali dengan kajian ayat dalam tema-tema yang relevan, kemudian dikembangkan menjadi norma-norma keagamaan, baik norma hukum maupun etik.

1. Rumusan Kompetensi Dasar dalam Pendidikan Agama (Islam)

Pendidikan multikultural melalui pendidikan agama (Islam) harus dilakukan dengan cara komprehensif, dimulai dengan desain perencanaan dan kurikulum melalui proses penyiapan, pengayaan dan atau penguatan terhadap berbagai kompetensi yang telah ada, mendesain proses pembelajaran yang bisa mengembangkan sikap siswa untuk bisa menghormati hak-hak orang lain tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan budaya, dan tanpa membedakan mayoritas atau minoritas. Dan terakhir hasil dan pencapaian pendidikan multikultural harus dapat diukur melaui evaluasi yang relevan.

Dede Rosyada memaparkan tentang rumusan kompetensi standar yang akan diharapkan pada siswa adalah; menjadi warga negara yang mampu hidup berdampingan bersama warga negara lain tanpa membedakan agama, ras, budaya dan bahasa, dengan menghormati hak-hak mereka, memberi peluang kepada semua kelompok untuk mengembangkan budayanya, serta mampu mengembangkan kerjasama untuk mengembangkan bangsa menjadi bangsa besar yang dihormati dan disegani di dunia internasional.

Sesuai dengan kompetensi standar tersebut, maka dapat dikembangkan beberapa kompetensi dasar sebagai berikut :

a. Menjadi warga negara yang menerima perbedaan-perbedaan etnik, agama, bahasa dan budaya dalam struktur masyarakatnya.

b. Menjadi warga negara yang bisa melakukan kerjasama multi etnik, multi kultur, dan multi religi dalam konteks pengembangan ekonomi dan kekuatan bangsa.

c. Menjadi warga negara yang mampu menghormati hak-hak individu warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya dalam semua sektor sosial, pendidikan, ekonomi, politik dan lainnya.

d. Menjadi warga negara yang memberi peluang pada semua warga negara untuk terwakili gagasan dan aspirasinya dalam lembaga-lembaga pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif.

e. Menjadi warga negara yang mampu mengembangkan sikap adil dan mengembangkan rasa keadilan terhadap semua warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya mereka.

Lebih lanjut Dede Rosyada mengatakan bahwa kelima kompetensi dasar tersebut menjadi inti dalam pendidikan multikultural nampaknya tidak bertentangan dengan norma hukum dan etika dalam ajaran Islam, kendati tidak diperintahkan secara tegas dalam al-Qur’an atau as-Sunah, tapi setidaknya kedua sumber ajaran tersebut tidak melarang kerjasama dengan penganut agama lain dalam mengembangkan ekonomi dan kekuatan bangsa. Dengan demikian, posisi pendidikan multikultural dalam persepsi keagamaan akan sangat ditentukan oleh argumentasi rasional dan memperkuat daya dorong masuknya sikap pluralistik tersebut dalam citra sikap keberagamaan umat Islam di Indonesia.

2. Format Pendekatan dan Tehnik Pembelajaran yang Relevan untuk Pendidikan Multikultural Melaui Pendidikan Agama Islam

Pembelajaran agama dan multikultural merupakan proses pembinaan dan pembentukan sikap hidup yang memerlukan landasan pengetahuan serta penanaman nilai dalam diri setiap siswa agar menjadi warga negara yang religius namun inklusif dan bersikap pluralis tanpa mengorbankan basis keagamaan yang dianutnya.

Pendidikan multikultural dalam pendidikan agama (Islam) bukan membina knowlage skill pada siswa, karena program pendidikan ini tidak diarahkan untuk tenaga ahli dalam bidang pendidikan multikultural dalam pendidikan agama, tetapi mendidik siswa untuk menjadi warga negara yang religius tapi inklusif dan bersikap pluralis. Dengan demikian, orientasi pembelajaran adalah pembinaan sikap dan prilaku hidup siswa yang tidak hanya akan tercapai dengan desain kurikulum yang komprehensif, tapi juga pendekatan, metode dan tekhnik pembelajaran yang relevan untuk membentuk sikap ideal tersebut.

Pendekatan pembelajaran yang kini diyakini dan telah terbukti secara empirik, efektif dalam membentuk sikap dan prilaku siswa adalah tehnik-tehnik pembelajaran yang memperbesar pelibatan siswa dalam proses mencari informasi, membahas berbagai persoalan yang terkait dengan informasi-informasi tersebut, serta merefleksikan nilai-nilai yang mereka peroleh dalam proses pembelajaran itu.

Proses pembelajaran harus dikembangkan secara dinamis dan kombinatif antara tehnik yang berpusat pada guru dengan teknik-teknik yang melibatkan siswa dalam proses balajar, sehingga sikap afektif tumbuh dan berkembang dalam jiwa para siswa. Pengajaran yang berpusat pada guru dan merupakan salah satu bentuk exposition teaching (mengajar dengan paparan, atau ceramah) layak untuk digunakan menyampaikan berbagai informasi dalam waktu yang sangat terbatas -- itupun jika guru itu seorang orator-- dengan disertai alat bantu, slide, vidio, film atau lainnya.

Sedangkan untuk pembelajaran dengan level pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evalusi memerlukan berbagai strategi yang bervariatif berbasis pelibatan siswa dalam proses pembelajarannya. Demikian pula dengan pembelajaran untuk tingkat kompetensi psikomotorik yang mengembangkan kemampuan imitasi serta pembiasaan dan penyesuaian. Semuanya juga memerlukan berbagai strategi yang variatif agar dalam proses pembelajaran terasa lebih bermakna dan menyenangkan dengan tanpa meninggalkan maksud dan tujuan yang akan dicapai.

Bahwa begitu banyak wacana tentang strategi pelibatan siswa dalam proses pembelajaran, baik itu student centered instruction (pembelajaran berpusat pada siswa), active learning (belajar aktif) atau self discovery learning (belajar melalui penemuan sendiri), colaborative learning (belajar bersama antara guru dengan siswa), dan cooperative learning (belajar bersama dan saling membantu satu sama lain).

Dengan demikian pada akhirnya semua kompetensi baik kognitif, afektif dan psikomotorik bisa dicapai dalam berbagai strategi yang dapat melibatkan siswa dalam belajar. Itulah hakikat dari salah satu gagasan besar dalam reformasi pendidikan di Indonesia yang memiliki keinginan untuk mengembangkan proses pembelajaran dengan prinsip baru, yaitu learning to do, learning to be, learning to learn, dan learning to live together. Dengan banyak melakukan tekhnik pembelajaran yang lebih banyak melibatkan siswa dalam proses pembelajaran tersebut, dan karena seringnya mereka melakukan kerjasama misalnya dalam bentuk satu kelompok kerja, maka hal itu bisa membentuk siswa memiliki sikap inklusif dan pluralis dalam kehidupan sehari-harinya di lingkungan sekitar.

No comments: