Monday, December 4, 2006

MUQADDIMAH


A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini bangsa Indonesia berada dalam situasi sulit. Sementara proses teransisi kehidupan sosial-politik berjalan terseok-seok dan kehidupan ekonomi belum juga pulih. Kurang lebih 10 tahun sudah bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi, dari tahun 1995 sampai sekarang. Selain itu guncangan terus datang bertubi-tubi baik dalam negeri maupun luar negeri. Dalam beberapa tahun terakhir teror bom terjadi dimana-mana. Dalam jeda waktu yang tidak terlalu jauh beberapa bom meledak di beberapa organ vital yang dianggap menjadi tolok ukur keberhasilan program-program perekonomian. Seperti : pengeboman di Plaza Atrium Senen pada (1/8/2001), Kemudian bom di Legian Bali (12/10/2002), Hotel JW. Marriot (5/8/2003), Bursa Efek Jakarta (13/9/2003), kemudian di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Australia (9/9/2004). Kemudian juga kasus bom Bali 2 di Jimbaran Kuta dan di Nyoman Café Kuta Bali pada (1/10/2005) yang tidak sedikit pula memakan korban jiwa.

Selain dari kasus teror dan peledakan bom di atas, pada tahun-tahun sebelumnya pun di Indonesia banyak sekali terjadi konflik etnik yang bersentimen ras dan keagamaan yang melanda di beberapa wilayah Nusantara. Seperti, kerusuhan yang terjadi di Pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengas Dengklok (1997), Sanggau Ledo, Kalimantan Barat (1996 dan 1997), Ambon dan Maluku (1999), hingga Sampit Kalimantan Tengah (2000).

Dari beberapa kasus tersebut, Islam diidentikan dengan terorisme dan kekerasan. Amerika Serikat dan Barat pada umumnya sering mengasosiasikan fundamentalisme (khususnya Islam) dengan bom dan teror. Kini stereotipe semacam itu mulai menjangkiti bangsa Indonesia yang notabene mayorotas Muslim. Tampaknya Islam phobia masih belum terhapuskan dari collective memories bangsa-bangsa Barat dan sebagian bangsa Indonesia khususnya.

Jika hal tersebut terus dibiarkan dan berlangsung terus menerus tanpa adanya usaha mengenalkan keragaman pemikiran Islam yang berkembang, maka bukan tidak mungkin gejala Islam phobia akan menjadi sebuah keniscayaan sampai di seluruh wilayah Indonesia. Padahal Islam turun dengan membawa ajaran-ajaran yang agung yang tidak hanya membawa ajaran-ritual belaka, namun juga ajaran praktek sosial lainnya (al-Mu’amalah) yang berakhlak tinggi. Hal ini bisa kita cermati dari hadits nabi Muhammad Saw. yang artinya “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus (kepada manusia) untuk menyempurnakan akhlak mulia” (H.R. Malik).

Akan tetapi yang lebih mengherankan lagi justru sebagian besar pelaku teror bom di Indonesia yang sering membuat keresahan massa itu mengklaim melakukan semua itu atas nama agama. Padahal kekerasan yang mengatasnamakan agama (apalagi agama Islam) tidaklah dapat dibenarkan. Karena salah satu sifat dari sifat-sifat agama adalah lurus (hanif) dan melapangkan (samhah). Metode penyebaran agamanya pun lebih banyak menggunakan pendekata persuasif dan toleran daripada kekerasan dan paksaan, dalam al-Qur’an disebutkan :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, kemudian bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhan-mu lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang dapat petunjuk” (Q.S. Al-Nahl : 125).

Dalam ayat lain Allah menyebutkan :

“Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama (Islam), karena sesunggunhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah : 256).

Kedua ayat di atas mengungkapkan bahwa propaganda agama Islam dilarang menggunakan metode kekerasan atau pemaksaan. Allah Swt. juga menyebutkan bahwa tugas Rasulullah hanyalah sebagai pemberi peringatan (mudzakkir), bukan penguasa (mushaithir) terhadap hati dan tingkah laku umatnya. (Q.S. Al-Gasyiah : 22-23).

Mengaktualisasikan konsep di atas tidak mudah, hal ini disebabkan kecenderungan umat manusia pada umumnya, termasuk umat Islam juga suka memonopoli kebenaran (truth claim) secara sendiri-sendiri dan bersifat sepihak. Padahal kalau mengatakan bahwa hanya fahamnya (agamanya) saja yang paling benar, itu termasuk dalam katagori mengejek faham (agama) orang lain. Secara tidak langsung mengatakan bahwa mereka semua --selain yang golongannya sendiri--tidak benar, sesat, dan akan masuk neraka. Padahal Allah Swt. berfirman dalam al-Qur’an :

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka itulah orang-orang yang zalim.(Q.S. Al-Hujurat : 11).

Kemudian ayat selanjutnya mengatakan :

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Q. S. Al- Hujurat : 12)

Di era milenium dan era globalisasi dan informasi yang syarat dengan pluralisme dan multikulturalisme, masyarakat saling mempengaruhi satu sama lain dalam intensitas tertentu. Hal ini mengimplikasikan adanya homogenisasi (penyeragaman) dari suatu kekuatan budaya dan politik yang dominan. Suatu bangsa bisa jadi kehilangan identitasnya akibat serbuan kultur hegemonistik yang tidak bisa dihindari. Dihadapan hegemonisasi, sebuah kultur yang notabene berasal dari luar suatu masyarakat atau bangsa akan melestarikan identitasnya, baik itu kultur kebangsaan, bahasa, ras, dan bahkan agama.

Semua hal di atas menurut penulis sebenarnya memang sudah merupakan fitrah dari manusia itu sendiri --terlepas dari unsur kepentingan apapun-- yang selalu ingin berkembang, maju, dan lain sebagainya. Akan tetapi terkadang hegemonisasinya itu dilakukan dengan cara tidak sesuai dengan etika masyarakat dan bangsa, bahkan juga suka melanggar dari hak asasi manusia (HAM) itu sendiri.

Sebagai sebuah contoh : Ada seseorang yang dipaksa untuk memeluk identitas lokal suatu daerah tempat dimana seseorang itu datang, kemudian masyarakat sekitar memaksanya agar seseorang itu mengikuti semua yang ada pada tatanan masyarakat itu tanpa mempertimbangkan dari mana sebenarnya dia berasal. Hal ini memang terlihat agak sedikit aneh, tapi itulah kenyataannya bahwa kita itu belum mempunyai kesiapan kultur untuk menerima yang lain (qabul al-akhar) apa adanya. Secara diam-diam di bawah alam bawah sadar kita tersimpan keinginan untuk memaksa menjadikan “orang lain” seperti kita.

Hal itu berarti, secara naluriah sebenarnya ada kecenderungan dalam diri kita untuk menjadi satu, daripada berbeda. Sayangnya, "kebersatuan" itu bukanlah realitas yang sebenarnya, tetapi hanya sekedar ilusi yang terus dipikirkan. Realitas yang tidak dipungkiri adalah keberbedaan itu sendiri. Namun, keberbedaan yang terus dipaksakan untuk bersatu tersebut merupakan salah satu cara menyikapi keragaman secara negatif. Berbeda selalu dipandang sebagai masalah dan potensial konflik, karena dalam setiap keberbedaan senantiasa dimasuki "ideologi" dan kepentingan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap manusia mempunyai banyak identitas, baik yang berkaitan dengan suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain sebagainya. Identitas-identitas tersebut sebagian merupakan sesuatu yang given, dan sebagian yang lain merupakan sebagai konstruk sosiologis. Dalam kehidupan sosial, relasi antar identitas tersebut seringkali berada dalam ketegangan, kompetisi, bahkan tidak jarang ingin saling menafikan.

Harus diakui, masyarakat kita masih sulit menerima perbedaan sebagai realitas yang harus diterima apa adanya. Kecenderungan yang umum terjadi adalah kehendak untuk "seragam" dan "satu". Kalau toh menerima, keragaman itu lebih dipandang sebagai sesuatu yang negatif daripada positif. Ini memang agak aneh, bukankah keragaman merupakan sunnatullah? Mungkinkah sunnatullah dianggap negatif?

Tapi, itulah kenyataannya di negara kita ini bahwa keragaman suka dianggap negatif, hal ini terbukti dari banyaknya golongan yang tidak mau menerima keragaman itu sebagai sunnatullah, sehingga akibat dari pandangan yang negatif itu banyak sekali menimbulkan perpecahan dan pertikaian, baik itu antar etnis, golongan, ras, dan bahkan agama, sehingga semakin meresahkan masyarakat.

Akibat dari hal tersebut, sejarah telah menunjukan bahwa akibat pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Sebagaimana analisis dari CSIS tahun 2001 yang mengatakan bahwa pada saat ini, paling tidak sedikitnya telah terjadi 35 pertikaian besar antara etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konplik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Seluruh dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslowakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Semua konplik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan, dan juga agama.

Secara faktual, Indonesia terdiri dari beragam suku, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Realitas ini membentang dari Sabang sampai Merauke. Dengan kondisi demikian, Indonesia seringkali disebut sebagai negara majemuk atau negara multikultural. Kemajemukan ini, satu sisi marupakan khazanah yang tak ternilai. Hal ini bisa menjadai ke-khasan bagi Indonesia. Namun di sisi yang lain bisa jadi kontraproduktif di level grass root ketika bangsa ini tidak bisa mengelolanya dengan baik.

Kenyatan adanya distribusi ekonomi yang tidak merata, perlakuan antar daerah ataupun suku yang tidak sama, serta tindakan diskriminatif di hampir seluruh level kehidupan menjadi persoalan tersendiri yang harus diselesaikan oleh negara multikultur seperti Indonesia, tanpa mampu mengatasai hal ini, keretakan sebuah bangsa tak terhindarkan lagi.

Apa yang terjadi pasca reformasi adalah gambaran rill, bagaimana pemerintah Indonesia (telah) gagal mengelola realitas multikultural ini. Politik identitas kelompok --seiring dengan menggejalanya komunalisme-- makin menguat. Konflik antar suku, agama muncul bak cendawan di musim hujan. Persatuan dan kesatuan yang diidam-idamkan dan menjadi khutbah para pejabat ternyata hanya semu belaka. Yang mengemukan kemudian adalah kepentingan antar suku, daerah, ras atau pun agama dengan mengenyampingkan realitas atau kepentingan yang lain. Bahkan tak jarang, suatu kelompok menghalalkan segala cara demi mewujudkan kepentingan ini.

Dengan memperhatikan kondisi objektif masyarakat Indonesia yang begitu pluralis (majemuk) keberagamannya, serta membandingkannya dengan berbagai situasi dan kondisi politik di luar negeri, tentunya diperlukan sebuah ramuan atau racikan yang tepat untuk membenahi semuanya. Seperti halnya dalam masalah studi agama (religious study) di Indonesia, hal ini terasa urgen dan mendesak untuk dikembangkan.

Studi dan pendekatan agama yang komprehensif, multidispliner dan interdisipliner dengan menggunakan metodologi yang bersifat historis-kritis melengkapi metodologi yang bersifat doktriner-normatif adalah pilihan yang tepat untuk masyartakat Indonesia yang majemuk keberagamaan dan kepercayaannya, hingga dengan demikian terciptalah sikap inklusif dan toleran antar umat beragama.

Nampaknya memahami sebuah realitas keberagaman merupakan suatu keniscayaan, terutama lagi untuk masyarakat Indonesia yang notabene sangat kompleks baik dari latar belakang budayanya maupun agamanya. Karena itu, sebagai suatu pandangan ajaran Islam tentang realitas kemajemukan keberagamaan atau pluralitas agama merupakan suatu pandangan yang akan berimplikasi pada proses internalisasi dan pembentukan pribadi-pribadi masyarakat muslim yang sesuai dengan ajaran atau nilai-nilai Islam, sehingga dengan pandangan demikian seorang muslim mengetahui bagaimana bersikap terhadap penganut agama-agama lain selain agamanya sesuai dengan ajaran Islam.

Sebagai suatu pandangan, hendaknya pluralitas agama tidak boleh dipandang hanya sebatas kognitif semata --bukan hanya sekedar menghafal nama-nama Tuhan, malaikat, dan nabi atau rasul serta nama atau tempat-tempat ibadah saja-- melainkan dan lebih penting lagi bahwa ini merupakan masukan yang akan melahirkan sikap apresiatif yang akan melandasi suatu perbuatan, karena inti dari pendidikan agama Islam ialah selain dari manumbuhkan daya kritis dan kreatif dan juga bukan hanya meningkatkan kemampuan ritual dan keyakinan tauhid semata, melainkan juga meningkatkan akhlak sosial dan kemanusiaan. Oleh sebab itu dalam perkembangan masyarakat yang pluralitas ini, realitas kemajemukan agama merupakan tantangan bagi pendidikan agama Islam.

Karena itu, selain dari religious studie (studi agama) yang dibenahi, pada level pendidikan pun layak kiranya dikembangkan sebuah pendidikan berparadigma multikulturalisme. Mengapa pada level pendidikan? Hal ini dikarenakan pendidikan di Indonesia seringkali abai terhadap persoalan ini, padahal kita menyadari betul bahwa pendidikan merupakan ladang persemaian kesadaran multikulturalisme.

Tetapi kenyataan yang terjadi adalah bahwa konsep tentang pendidikan itu lebih sering dijadikan sebagai alat atau propaganda atau ajang bisnis oleh penguasa. Pendidikan, terkadang terlalu berat dengan beban ideologis di satu pihak, karenanya gagal memahami realitas dipihak yang lain. Akibatnya tujuan luhur pendidikan menjadi luntur dan tak berbekas.

Corak pendidikan yang berkembang cenderung monokultur, hanya mengadopsi dan mempelajari budaya sendiri, bahkan budaya sendiri dianggap seperti ideologi yang harus diikuti dari A sampai Z. karena itu, pemahaman lintas budaya (cross culture) masih seperti "makhluk asing" yang menakutkan. Kalau terus-terusan seperti ini --selalu bersifat monokultur-- maka tidak heran kalau banyak dari masyarakat yang tidak menyadari bahwa keberadaannya di dunia ini sangat beraneka ragam (multikultur), yang mana dalam kehidupan ini mereka harus bergaul antara yang satu dengan yang lainnya dengan cara sopan santun dan berakhlak mulia. Bukan dengan cara bertikai atau membuat kerusuhan sehingga banyak memakan korban jiwa, harta, keluarga, dan yang lainnya.

Terkait dengan hal tersebut di atas, maka di era globalisasi dan informasi yang syarat dengan pluralisme dan multikulturalisme seperti sekarang ini, pendidikan Islam sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari ekslusivitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim-non muslim, dan sorga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas yang selalu indoktrinasi. Pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju sorga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain.

Disekolah-sekolah Islam dari levelnya yang paling rendah (Madrasah Ibtidaiyah) bahkan dari Taman Kanak-kanak (TK) dan sampai ke Perguruan Tinggi (PT), fenomena ini tumbuh subur. Paradigama pendidikan Islam yang eksklusif-doktrinal ini telah menciptakan kesadaran umatnya untuk memandang agama lain secara amat berbeda, bahkan bermusuhan. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan Islam sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dan multikulturalisme dewasa ini, pendidikan Islam mesti melakukan reorientasi filosofis-paradigmatik tentang bagaimana membentuk kesadaran peserta didiknya berwajah inklusif dan toleran. Inilah tantangan serius dalam mengembangkan pendidikan Islam di tanah air Indonesia.

Tanpa bermaksud mendiskreditkan dan mendisposisikan peranan pendidikan agama dalam kehidupan masyarakat, tetapi setidaknya --menurut penulis-- ini bisa menggugah kita untuk merefleksikan kembali apa yang kita harapkan dan apa yang kita dapatkan dari pembelajaran agama selama ini. Sehingga pada gilirannya kita dapat menimbang ulang apakah pengajaran pendidikan agama pada lembaga formal (sekolah) masih dikatakan relevan atau tidak?, atau mungkin saja masih relevan akan tetapi harus mereformasi semua atau sebagian komponen-komponen yang ada di dalamnya, sehingga yang tadinya cenderung "eksklusif" sehingga menjadi inklusif.

Adapun komponen-komponen pendidikan yang harus direformasi atau ditata ulang diantaranya adalah tujuan pendidikan, kurikulum, metode atau proses belajar mengajar, pendidik, meteri atau isi pelajaran dan lain-lainnya, mungkin juga termasuk aspek masyarakat sekitarnya. Dengan demikian pendidikan Islam bisa terus eksis dan tidak menjadi "hantu" yang menyeramkan di era multikultural seperti sekarang ini karena sudah merubah wajahnya yang tadinya cenderung "menyeramkan" menjadi inklusif yang sarat dengan perdamaian.

Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di ataslah yang mandasari penulis untuk memilih judul skripsi "REFORMASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DI ERA MULTIKULTURAL (Transpormasi Pendidikan Islam dari Eksklusivisme Menuju Inklusivisme)" yang mana --menurut penulis--tentang permasalahan tersebut sangat urgen dan menarik untuk diteliti secara lebih mendalam. Karena, hal ini mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan keberagamaan di Indonesia yang syarat dengan pluralisme multikulturalisme di era globalisasi dan informasi seperti sekarang ini.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sebagaimana telah disinggung dalam latar belakang masalah, maka agar tidak terjadi kekaburan dalam pembahasan dan untuk memperoleh gambaran yang jelas serta menghindari penafsiran yang menyimpang, maka penulis membatasi penelitian ini pada permasalahan pembaharuan di seputar komponen-komponen pendidikan. Diantara beberapa komponen tersebut perlu diperbaharui kembali sehingga bisa cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk keberagamaannya.

Adapun komponen-komponen yang ingin diteliti oleh penulis adalah hanya seputar pada tujuan, kurikulum, guru, proses belajar-mengajar, dan manajemen, serta sarana dan prasarana yang ada dalam pendidikan Islam yang kesemuanya itu harus ditimbang ulang sehingga dapat menciptakan sikap yang inklusif bagi peserta didik dalam kehidupan yang pluralis seperti sekarang ini.

Kemudian mengenai permasalahan yang menjadi minat penulis dalam penelitian ini adalah karena banyaknya anggapan bahwa agama sering kali dijadikan sebagai “kambing hitam” terjadinya pertikaian dan perselisihan, bahkan memakan korban, sehingga mengesankan bahwa agama adalah sumber kekacawan atau pemecah-belah antar umat beragama. Sebaliknya, jika pluralitas agama dapat dipahami dengan benar (secara positif), niscaya akan melahirkan hal yan positif pula. Karena itu, sikap pemahaman yang benar tentang realitas kemajemukan agama perlu diinternalisasikan pada pribadi anak didik. Proses internalisasi nilai-nilai agama tersebut merupakan proses yang harus diwujudkan melalui pendidikan agama baik di lembaga formal (sekolah) maupun non-formal (keluarga dan masyarakat).

Dari permasalahan di atas tersebut, timbulah beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Alasan apa saja yang menyebabkan perlunya pembaharuan pada pendidikan Islam?

2. Komponen-komponen pendidikan apa saja yang mesti diperbaharui?

3. Bagaimana konsep reformasi (pembaharuan) pendidikan Islam di era pluralisme dan multikulturalisme tersebut sehingga dari yang bersikap "eksklusif" menjadi inklusif?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Sejalan dengan beberapa permasalah yang telah di sebutkan di atas. Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pendidikan Islam itu harus diperbaharuai.

2. Mengetahui dan menimbang ulang beberapa komponen-komponen pendidikan yang mesti diperbaharui sehingga akan cocok dengan kondisi masyarakat di Indonesia yang memang sangat majemuk keberagamaannya.

3. Memberikan solusi dari beberapa pertikaian yang sering terjadi antar umat beragama.

4. Memberikan tawaran dan solusi bagi pendidikan Islam untuk merubah "wajah"nya agar lebih cantik dan menarik dan terus diminati karena kecantikannya itu.

Secara umumnya penelitian ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran, pengakuan, penghargaan, perlindungan --antar umat beragama-- dan kemajuan terhadap nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan sehari-hari individu dan masyarakat dalam jangka panjang. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengubah paradigma berpikir masyarakat tentang pemahaman keagamaan. Sehingga, dengan begitu masyarakat mengerti akan makna kebersamaan, persatuan dan kesatuan.

Memang sikap dan prilaku yang merefleksikan penghayatan dan pengamalan atas nilai-nilai pluralisme tidak dapat terbentuk dalam waktu yang singkat, bahkan butuh proses, waktu dan perjalanan yang panjang. Namun, bagaimanapun upaya kearah itu harus dimulai dari sekarang.

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pengelola lembaga pendidikan Islam, pemerintah, masyarakat, dan seluruh stakeholders pendidikan dalam menentukan kebijakan-kebijakan. Sehingga dengan seperti itu akan dapat membentuk peserta didik agar memiliki sikap yang inklusif dalam beragama di era multikulturalme seperti sekarang ini, yang mana kesemuanya itu sangat terkait dengan mereformasi beberapa komponen-komponen pendidikan --yang meliputi: kurikulum, guru, dan proses belajar mengajar, Manajemen, serta sarana dan prasarana-- agar dapat menunjang tercapainya kualitas out put pendidikan yang dihasilkan dan sikap toleran yang didambakan dalam kehidupan di dunia ini.

Selain itu, signifikansi dari penelitian ini terletak pada kenyataan bahwa sumber yang membahas tentang ini --dalam bentuk skripsi-- masih tergolong sangat sedikit. Sehingga, dengan demikian ini dapat diharapkan bisa membantu mempermudah penelusuran referensi bagi para peneliti pendidikan, setidaknya bisa menambah sumber dan khasanah pengetahuan di dunia pendidikan.

D. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library reseach) artinya, permasalahan dan pengumpulan datanya berasal dari kajian kepustakaan, baik itu berupa buku, jurnal, majalah, artikel, dan surat kabar yang relevan dengan penelitian ini.

Dari data-data yang terkumpul, penulis mengolah dan menganalisis data-data tersebut dengan menggunakan metode contens analysis, maksudnya adalah penulis menganalisis data-data yang terkumpul. Kemudian, hanya data-data yang betul-betul terkait dengan topik penelitian ini saja yang penulis cantumkan dalam penulisan skripsi ini.

Selain itu, penulis juga memberikan tanggapan terhadap data tersebut dengan tujuan diperoleh formulasi yang lebih baik dan applicabel mengenai reformasi pendidikan Islam di era pluralisme dan multikulturalisme.

E. Sistematika Penulisan

Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dalam pembahasan dan demi konsistensi pemikiran serta pemecahan pokok permasalah secara tuntas, skripsi ini disusun dalam satu sistematika yang terdiri dari lima bab yang saling berkaitan dan saling menunjang satu sama lain, adapun susunannya sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan. Meliputi latar belakang masalah; pembatasan dan perumusan masalah; tujuan dan signifikansi penelitian; metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II. Pendidikan Islam dan Era global-Multikultural. Meliputi: Pengertian pendidikan dan Pendidikan Islam; dasar dan tujuan pendidikan Islam serta ruang lingkup pendidikan Islam; kemudian dibahas juga masalah bagaimana era global-multikultural itu sebagai era persaingan dan implikasinya terhadap pendidikan Islam.

Bab III. Pendidikan Multikultural di Indonesia, meliputi sejarah pendidikan multikultural di beberapa negara, kemudian definisi pendidikan multikultural, konsep dasar dan prinsif penyusunan program pendidikan multikultural, kemudian bagaimana mengimplementasikan kurikulum pendidikan multikutural di Indonesia, serta bagaimana format pengembangan pendidikan multikultural dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bab IV. Reformasi Pendidikan Islam di era multikultural. Meliputi : Apa alasan perlunya mereformasi pendidikan Islam di era multikultural, terdiri dari bagaimana kondisi obyektif pendidikan Islam di era global-multikultural serta komponen-komponen apa saja yang perlu untuk direformasi; bagaimana menerapkan pendidikan agama dengan pendekatan multikultural di sekolah umum serta bagaimana mengimplementasikan pendidikan multikultural melalui pendidikan agama Islam di sekolah.

Bab V. Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran yang konstruktif.

No comments: